Para kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi, termasuk yang sudah dijatuhi vonis, punya beragam refleksi soal apa yang menimpa dirinya
Oleh
·4 menit baca
Para kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi, termasuk yang sudah dijatuhi vonis, punya beragam refleksi soal apa yang menimpa dirinya. Ada yang mengaku sekadar menerima uang tanpa tahu asalnya, ada pula yang berargumen tak kuasa melawan sistem, termasuk tingginya kebutuhan operasional kepala daerah.
Laki-laki itu lebih banyak menundukkan wajahnya. Saat ia menengadahkan wajah, tampak matanya memerah. Orang itu, Gubernur Kepulauan Riau non-aktif Nurdin Basirun, lalu bergegas turun ke basement, setelah mendengar dakwaan terhadap dirinya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (4/12/2019). Dia didampingi keluarga, kerabat, dan pendukungnya.
Nurdin juga didakwa menerima gratifikasi Rp 4,22 miliar pada 2016-2019.
Jaksa mendakwa Nurdin telah menerima suap Rp 45 juta dan 11.000 dollar Singapura (1 dollar Singapura setara Rp 10.300) dari pengusaha, melalui Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau Edy Sofyan dan Kepala Bidang Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau Budy Hartono. Nurdin juga didakwa menerima gratifikasi Rp 4,22 miliar pada 2016-2019. Ia pun tidak mengajukan nota keberatan atas dakwaan itu.
Dalam perjalanan menuju ruang tahanan, Nurdin sempat berbincang dengan Kompas, tentang dugaan korupsi yang membelitnya. Ia mengaku memang ada uang dari Edy yang diklaim untuk membantu masyarakat. Namun, Nurdin mengaku tak pernah menanyakan asal uang tersebut.
Dia juga mengaku izin terkait pemanfaatan ruang laut yang ditandatanganinya dibuat oleh Edy. ”Saya tidak tahu apa-apa. Permohonan dibuat Pak Edy,” ungkap Nurdin, yang juga mengaku tidak pernah meminta uang suap perizinan melalui Edy. Kini, kasus Nurdin sudah masuk dalam persidangan. Dakwaan dan pengakuan Nurdin segera memasuki proses pembuktian.
Sistem korup
Pengakuan Nurdin berbeda dengan pernyataan mantan Bupati Pakpak Bharat, Sumatera Utara, Remigo Yolando Berutu. Melalui nota pembelaan atas perkara korupsi, Remigo mengaku telah berusaha melawan sistem korup dan berbagai kepentingan, tetapi justru akhirnya terseret arus yang membuatnya harus berurusan dengan KPK.
”Sekuat-kuatnya saya berusaha, nyatanya saya tidak mampu melawan sistem dan berbagai kepentingan yang membahayakan diri saya. Saya harus mengaku salah dan kalah karena harus berkompromi sehingga menyebabkan proses hukum ini terjadi,” ujar Remigo, yang sebelumnya cukup sering melaporkan penerimaan gratifikasi ke KPK.
Sebagian uang suap itu untuk membiayai pilkada adiknya dan mengamankan kasus hukum istrinya.
Hakim Pengadilan Tipikor Medan menjatuhi Remigo hukuman pidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp 650 juta subsider 4 bulan kurungan, serta pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama 4 tahun.
Remigo terbukti menerima suap Rp 1,6 miliar dari sejumlah kontraktor untuk memuluskan pembagian proyek di Dinas PUPR Kabupaten Pakpak Bharat. Sebagian uang suap itu untuk membiayai pilkada adiknya dan mengamankan kasus hukum istrinya. Sementara Bupati Cirebon, Jawa Barat, Sunjaya Purwadisastra justru berterima kasih kepada KPK telah memproses hukum. Sebab, ia tak perlu lagi mengutip uang untuk dikumpulkan dan dibagikan.
Dalam pembelaannya, ia menjelaskan jabatan sebagai bupati memerlukan banyak uang untuk mengamankan pemerintahan daerah dari para pendemo dan untuk koordinasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) yang semuanya tidak dibiayai APBD.
Padahal, awalnya, Sunjaya menjelaskan dirinya berupaya menolak segala pemberian dan tidak berupaya meminta uang. Sunjaya divonis 5 tahun dengan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan terkait jual-beli jabatan. Kini Sunjaya masih kembali menjalani perkara untuk tindak pidana pencucian uang di KPK.
Faktor pendorong
Pengajar Psikologi Universitas Padjadjaran Zainal Abidin menjelaskan, ada tiga motif utama dalam diri manusia, yaitu kebutuhan untuk berkuasa, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk berprestasi. Namun, dalam konteks pelaku korupsi politik, mereka bertindak terutama dilandasi kebutuhan untuk berkuasa dan untuk menjaring afiliasi.
”Justru need for achievement-nya paling rendah, padahal kedudukannya sebagai penyelenggara negara. Walau need for power itu tidak salah karena setiap orang pasti punya, sifatnya semestinya sosial dan tidak bertujuan personal yang egoistis,” ujar penulis buku Psikologi Korupsi itu.
Belum lagi sistem yang memiliki banyak ruang gelap sehingga mendorong orang melakukan korupsi.
Namun, kondisi ini dipicu juga oleh faktor eksternal. Misalnya, permintaan dana terus-menerus, baik dari partai politik, jajaran eksekutif, maupun jajaran legislatif daerah. Belum lagi sistem yang memiliki banyak ruang gelap sehingga mendorong orang melakukan korupsi.
”Jadi, katakanlah intensi atau niat tinggi untuk korupsi, tapi pengaruh sosialnya kecil. Maka, hal itu sulit terjadi. Tapi saat intensi dan niat tinggi, didukung pengaruh sosial seperti sistem yang ada, tidak mengherankan terjadi seperti sekarang ini,” ungkap Zainal.
Kejahatan tidak akan terjadi tanpa ada niat dan akses. Sudahkah berbagai jalur yang dapat memicu korupsi tersebut diantisipasi? (RIANA A IBRAHIM)