Selisik Pemenang Paling Otentik
Ajang SEA Games belum sepenuhnya layak dijadikan acuan paling akurat mengukur kemajuan olahraga negara-negara kawasan Asia Tenggara. Prestasi lebih banyak ditentukan dalam posisi sebagai tuan rumah.
Kali ini, sekalipun SEA Games 2019 belum berakhir, sudah dapat dipastikan Filipina menjadi juara umum. Dengan selisih medali emas mencapai dua digit, sementara perebutan medali yang tersisa semakin sedikit, menguap sudah peluang bagi negara-negara lain yang berniat melampaui capaian Filipina.
Kemenangan Filipina tidak mengejutkan. Kemenangan ini hanya semakin meneguhkan keberlangsungan tradisi bahwa SEA Games milik tuan rumah. Jika bukan seperti itu, tidakkah tampak terlalu naif disimpulkan adanya lonjakan prestasi atlet Filipina semata-mata menjadi penyebab kemenangan?
Dalam sejarah penyelenggaraan SEA Games, prestasi atlet Filipina tidak tampak mencorong. Sejak SEA Games 1977, inilah kedua kalinya Filipina berhasil menjadi juara umum. Kesempatan pertama kali diraih pada SEA Games 2005, yang juga sebagai tuan rumah.
Selepas itu, prestasi Filipina terpuruk. Bahkan, pada SEA Games 2017 di Malaysia, hanya 24 medali emas (5,9 persen) yang dikuasai. Menjadi capaian terendah dalam sejarah penguasaan medali emas Filipina pada ajang SEA Games. Bukan hanya terjadi pada Filipina bahwa faktor tuan rumah menjadi kunci kemenangan. Malaysia, Thailand, Indonesia, maupun Vietnam setali tiga uang.
Malaysia, saat menjadi tuan rumah SEA Games 2017, mampu meraup 145 emas (35,7 persen). Dua kesempatan terakhir sebagai tuan rumah, mengukuhkan Malaysia sebagai juara umum dengan capaian emas di atas 100. Padahal, dalam posisi tidak sebagai tuan rumah, paling tinggi pada kisaran 60 emas (15 persen) yang dikuasai. Lonjakan emas berkali lipat dari kondisi bukan tuan rumah menjadi pemandangan umum.
Indonesia dan Thailand bahkan berhasil menyandingkan gelar juara umum pada setiap ajang SEA Games di negerinya. Empat kali sebagai tuan rumah, sebanyak itu pula menjadi juara umum. Sejarah capaian Indonesia sebagai juara umum pun tidak tanggung-tanggung. Semenjak pertama kali berpartisipasi dalam SEA Games, telah 10 kali menjadi juara umum sekaligus menjadi terbanyak di antara negara-negara ASEAN lainnya.
Proporsi medali yang dikuasai pun sempat menjadi paling tinggi dalam sejarah SEA Games. Pada SEA Games 1987, misalnya, pernah menguasai hampir separuh (49,6 persen) dari total emas yang diperebutkan.
Namun, tidak sebagai tuan rumah prestasi Indonesia menjadi terpuruk. Terendah, di SEA Games 2017, tatkala hanya 38 emas (9,4 persen) yang dikuasai. Itulah mengapa, para atlet Indonesia seusai SEA Games kali ini dapat pulang dengan kepala tegak. Pasalnya, kali ini mereka mampu membalikkan kondisi keterpurukan dengan menyumbangkan medali lebih banyak dari sebelumnya.
Di SEA Games, Thailand relatif di bawah Indonesia. Sebagai tuan rumah, Thailand berhasil mempertahankan tradisi juara umum sebanyak tiga kali. Menariknya, di luar sebagai tuan rumah, Thailand terbukti mampu empat kali menjadi juara umum. Terakhir, pada SEA Games 2015 di Singapura. Sayangnya, selepas itu prestasi Thailand mulai susut.
Prestasi juara umum yang lebih banyak ditopang sebagai tuan rumah menjadi ironis dalam kemajuan olahraga. Sejatinya, posisi tuan rumah ditempatkan sebatas nilai lebih yang berkontribusi sebagai pemacu prestasi (contributory variable). Capaian negara yang dapat dikatakan berhasil dan patut dibanggakan, idealnya jika tidak dalam posisi sebagai tuan rumah, namun di saat itu pula peningkatan prestasi tetap terjadi.
Namun, inilah karakter SEA Games. Jika dicermati, selain faktor sebagai tuan rumah, terdapat pula berbagai kondisi kontradiktif dalam prestasi negara di Asia Tenggara. Jumlah penduduk dan peningkatan perekonomian suatu negara, misalnya, sering kali ditempatkan sebagai contributory variable dalam penopang keberhasilan menggapai kemenangan. Hanya saja, kedua variabel tersebut kurang signifikan berelasi dengan capaian prestasi olahraga di Asia Tenggara.
Filipina dan Indonesia menjadi gambaran paling konkret terhadap persoalan ini. Kedua negara, dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk terbesar di kawasan, idealnya paling berpeluang besar dalam kontribusi penyediaan atlet. Semakin besar penduduk, semakin besar ketersediaan atlet, maka semakin besar pula peluang penguasaan suatu kompetisi olahraga antarnegara.
Begitu pula dengan perkembangan ekonomi negara dan masyarakatnya. Semakin menjadi makmur negara dan masyarakatnya, semakin besar dukungan ekonomi terhadap penciptaan prestasi, maka semakin besar pula peluang terhadap penguasaan ajang kompetisi keolahragaan.
Baik di Filipina maupun Indonesia, konsepsi semacam ini kurang relevan. Besaran penduduk, perkembangan kualitas ekonomi yang ditunjukkan dengan peningkatan gross national income per kapita (GNI) di kedua negara justru berbalik dengan derajat prestasi olahraga yang diraih. Peningkatan penduduk dan kondisi ekonomi yang berlangsung cenderung diikuti oleh prestasi olahraga yang fluktuatif dan cenderung menurun.
Jika faktor-faktor pendukung prestasi kurang berkontribusi, tidak mengherankan apabila capaian prestasi paling otentik yang ditunjukkan dari kualitas para atlet dalam setiap kompetisi tidak terwujud.
Hanya saja, di balik keraguan prestasi negara-negara di Asia Tenggara, terdapat pula upaya sebagian negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Singapura, misalnya, kendati telah tiga kali menjadi tuan rumah SEA Games, memang belum sekali pun menjadi juara umum.
Singapura konsisten
Akan tetapi, Singapura dengan penduduk yang tergolong kecil itu, tetapi ditopang oleh kondisi ekonomi tertinggi di antara negara Asia Tenggara lainnya, terbilang konsisten dalam menjaga prestasi. Jika mencermati prestasi capaian medali emas Singapura, cenderung meningkat sepanjang keikutsertaan dalam SEA Games.
Paling menarik, mencermati Vietnam. Tradisi tuan rumah sekaligus menjadi juara umum memang terjadi pula pada Vietnam. Sekali kesempatan menjadi tuan rumah (SEA Games 2013) menobatkan pula posisi Vietnam untuk pertama kalinya meraih juara umum.
Namun, dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Vietnam terbilang konsisten dalam menjaga tren peningkatan capaian medali pada setiap SEA Games. Sejak keikutsertaan pertama kali dalam SEA Games 1989 di Malaysia, tren peningkatan prestasi emas Vietnam cenderung positif.
Semakin menarik, jika dihubungkan dengan peningkatan jumlah penduduk hingga perekonomian masyarakatnya, juga positif. Artinya, tren peningkatan prestasi Vietnam ditopang pula oleh besaran penduduk dan peningkatan ekonomi penduduknya.
Sekalipun Vietnam belum mampu menjadi juara umum di luar kapasitas sebagai tuan rumah, kondisi demikian menjadi ancaman paling riil bagi negara lainnya. Jika Vietnam masih konsisten menjaga pertumbuhan prestasinya, SEA Games seterusnya dalam penguasaan Vietnam.