Hari Antikorupsi Sedunia yang diperingati hari ini rasanya hanya akan menjadi seremoni semata ketika publik masih dihadapkan pada praktik korupsi yang tak mereda. Perlu upaya hukum serius yang mampu melahirkan efek jera.
Momentum hari ini ibarat alarm untuk mengingatkan publik bahwa praktik korupsi masih menjadi ancaman serius bagi bangsa ini. Ancaman serius ini semakin nyata ketika publik dihadapkan pada fakta masih terus terjadi praktik korupsi di berbagai lini, termasuk di pemerintahan daerah yang bersentuhan dengan pelayanan kepada masyarakat.
Hasil penelusuran Litbang Kompas, sepanjang tahun 2004 hingga November 2019, sudah ada 121 kepala daerah yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni mulai dari wali kota, wakil wali kota, bupati, wakil bupati, hingga gubernur. Apabila dirata-rata, dalam kurun 15 tahun terakhir, tiap tahun lebih kurang ada delapan kepala daerah yang ditangkap KPK karena kasus korupsi.
Hal ini menguatkan adanya paradoks, semakin gencar KPK menindak kasus korupsi ternyata masih belum juga membuat jera sehingga muncul pelaku lain. Kendati sudah lebih dari 100 kepala daerah yang dijebloskan ke penjara karena korupsi, masih ada saja kepala daerah yang berurusan dengan KPK ataupun lembaga penegak hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan, lantaran korupsi.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pekan lalu merekam kegelisahan ini. Separuh lebih responden (54,1 persen) menilai, penindakan KPK terhadap kepala daerah yang korupsi, terutama dengan cara operasi tangkap tangan, belum memberi efek jera.
Efek rasa malu karena tertangkap tangan akibat kasus korupsi ternyata tidak membuat surut niat sejumlah kepala daerah untuk terlibat korupsi. Padahal, dengan gencarnya penindakan oleh penegak hukum, apalagi disertai pemberitaan media yang menyorot pelaku korupsi, hal ini seyogianya diikuti dengan surutnya tindak pidana korupsi.
Di mata publik, salah satu upaya yang bisa dilakukan agar efek jera itu terjadi adalah dengan memberikan hukuman dengan jangka waktu lama, bahkan kalau perlu ”dimiskinkan” dengan merampas harta pelaku korupsi yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Soal hukuman yang berat berupa kurungan penjara yang lama disebutkan 29,5 persen responden, hampir seimbang dengan kelompok responden yang melihat hukuman dengan merampas harta pelaku korupsi sampai dimiskinkan (28,1 persen). Sementara itu, ada 11,1 persen responden yang menilai hukuman mati bagi terpidana korupsi akan memberi efek jera sehingga membuat penyelenggara negara tak lagi mencoba-coba korupsi.
Penyebab korupsi
Mengapa kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah marak? Salah satu yang sering diungkap adalah politik biaya tinggi kepala daerah, terutama ketika berkontestasi di pilkada. Kementerian Dalam Negeri pernah mengungkap, untuk mengikuti pemilihan bupati atau wali kota, seorang bakal calon bupati atau wali kota bisa menghabiskan biaya Rp 25 miliar-Rp 30 miliar. Sementara untuk pemilihan gubernur, biaya yang dikeluarkan seorang bakal calon bisa mencapai ratusan miliar rupiah hingga Rp 1 triliun.
Meskipun demikian, jajak pendapat Kompas merekam, ada faktor yang paling tinggi dinilai responden sebagai penyebab perilaku korup tersebut. Penyebab itu terkait adanya mental korup, serakah, atau tamak yang disebutkan oleh 92 persen responden. Jadi, di mata responden, tidak semata-mata pilkada biaya tinggi yang menjadi penyebab munculnya perilaku korup.
Apalagi, hal ini juga dikuatkan oleh fakta bahwa tidak sedikit kepala daerah hasil pemilihan langsung, yang diklaim berbiaya politik tinggi juga, ternyata relatif bersih dari korupsi. Apa pun sistem pilkada yang diterapkan, selama ia menyimpan mental korup, potensi korupsi tetap akan terjadi.
Namun, tentu politik biaya tinggi tetap memiliki kontribusi yang mengundang lahirnya perilaku korup, terutama di daerah. Sistem politik biaya tinggi ini dimulai dari proses awal, yakni saat bakal calon kepala daerah meminta rekomendasi atau surat dukungan dari partai politik, sampai pada proses kampanye di pilkada. Fakta ini seakan menjadi rahasia umum ketika proses pilkada berlangsung.
Fenomena maraknya kepala daerah terjerat korupsi ini juga tecermin dari persepsi separuh lebih responden (52,1 persen) yang menyatakan kepala daerah di wilayah mereka tidak bebas dari praktik korupsi. Sebaliknya, persentase responden yang menilai kepala daerah di wilayahnya bersih dari korupsi hanya lebih kurang 28 persen.
Hal ini memberi sinyalemen awal, korupsi di kalangan penyelenggara negara, terutama kepala daerah, seperti fenomena gunung es. Mereka yang ditangkap penegak hukum merupakan bagian permukaan gunung yang terlihat oleh publik. Sisanya, bagian yang berada di bawah laut, belum tersentuh sama sekali. Ironisnya, bagian yang paling besar ini justru tidak terungkap kepada publik.
Masih optimistis
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) beberapa tahun terakhir menggambarkan bagaimana posisi Indonesia dalam upaya perlawanan terhadap tindak pidana korupsi dipersepsikan sedikit membaik. Pada tahun 2018, IPK Indonesia berada di angka 38, sedikit naik dari tahun 2017 yang mencapai 37. Dalam skala 0-100, semakin mendekati 100, semakin baik posisi sebuah negara.
Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, peringkat IPK Indonesia tahun 2018 di antara negara-negara ASEAN ada di papan tengah. Pada 2018, Indonesia berada di peringkat keempat atau naik dua tingkat dari posisi keenam pada tahun sebelumnya. Indonesia berada satu tingkat di atas Filipina. Indonesia juga kemudian menggeser Thailand ke urutan keenam di ASEAN.
Kendati masih belum mampu memenuhi ekspektasi publik secara keseluruhan, upaya-upaya pemberantasan korupsi oleh KPK selama ini masih mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Jajak pendapat Kompas juga mengungkap, 60,9 persen responden cukup puas dengan kinerja KPK dalam memberantas korupsi. Bahkan, ada keyakinan yang cukup positif bahwa lembaga ini akan bekerja lebih baik ke depan.
Tentu saja harapan ini akan tetap ditentukan oleh sejauh mana kinerja KPK setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dianggap melemahkan KPK dalam memberantas korupsi.
Munculnya kritik publik atas proses revisi undang-undang tersebut akan menjadi ujian bagi lima komisioner KPK 2019-2023 yang akan menjabat jelang akhir Desember 2019. Pada akhirnya, di tengah menguatnya pragmatisme dalam proses politik sebagai embrio lahirnya praktik korupsi, tetap dibutuhkan komitmen kuat untuk melawan praktik korupsi yang ancamannya semakin serius di negeri ini.(ANUNG WENDYARTAKA/ Libang Kompas)