Dari Tak Dibayar hingga Menampung Air Embun Pendingin Ruangan
Akses air minum juga dibatasi hanya 1 liter per hari. Ia pun terpaksa menampung air embun dari pendingin ruangan untuk diminum.
Genap setahun berlayar sebagai anak buah kapal di perairan Somalia, Alfa (28) akhirnya dipulangkan ke kampung halamannya di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Kesempatan tersebut membuat ia dan anak buah kapal (ABK) lainnya merasa lega sekaligus berduka.
Kepulangan mereka bukan tanpa alasan karena sesuai kontrak. Seharusnya mereka baru bisa dipulangkan setelah dua tahun bekerja.
”Kapten kami bilang kami akan dipulangkan setelah ada tiga ABK yang meninggal waktu itu. Kata dokter diduga meninggal karena keracunan makanan,” kata Alfa dengan suara lirih saat dihubungi lewat sambungan telepon dari Jakarta, Senin (9/12/2019).
Tiga ABK yang meninggal berasal dari Filipina dan China. Ketiganya diduga meninggal karena keracunan makanan yang telah kedaluwarsa. Sebagian besar makanan yang diberikan kepada ABK dimasak oleh koki kapal.
Alfa mengatakan, ABK asal Indonesia biasanya tidak makan makanan dari koki karena rasa yang tidak sesuai. Biasanya juga makanan yang disajikan adalah makanan olahan daging babi. Karena itu, mereka lebih memilih memasak sendiri meskipun harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli bahan masakan.
Alfa pertama kali pergi sebagai ABK pada 1 Januari 2018. Awalnya ia tidak tahu bahwa lokasi penangkapan ikan yang dituju adalah perairan Somalia yang dikenal rawan perompak.
Kepergiannya hanya berpegang pada janji manis akan upah yang dinilai tinggi, sekitar 300 dollar AS per bulan atau setara dengan Rp 4,2 juta dengan nilai kurs saat ini. Itu pun belum dikurangi uang jaminan yang harus dicicil 200 dollar AS selama enam bulan.
Namun, kenyataannya, upah yang hanya 100 dollar AS belum tentu dibayarkan rutin setiap bulan. Bahkan, setelah dipulangkan dari perjalanan lautnya, Alfa tidak juga mendapatkan uang pengganti satu tahun sisa masa kerjanya.
Selain Alfa, ada pula ZA (34). Bahkan, sampai ia sudah kembali ke Tanah Air, upahnya tidak juga dibayarkan hingga saat ini. Tidak hanya upah yang belum dibayarkan, beberapa dokumen yang ditahan juga belum dikembalikan, seperti paspor, buku pelaut, ijazah, kartu keluarga, serta dokumen basic safety training (BST).
Menampung air embun
Ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia karena dieksploitasi saat menjadi ABK kapal milik China. Selama tujuh bulan berlayar di perairan Fiji, ia sering mendapatkan kekerasan fisik dan psikis. Lama waktu kerja yang harus dijalankan pun bisa sampai 22 jam sehari.
Akses air minum juga dibatasi hanya 1 liter per hari. Ia pun terpaksa menampung air embun dari pendingin ruangan untuk diminum.
Akses air minum juga dibatasi hanya 1 liter per hari. Ia pun terpaksa menampung air embun dari pendingin ruangan untuk diminum. Makanan yang diberikan juga dinilai tidak layak. Setiap malam, ia dan ABK lain hanya diberikan nasi putih dengan ikan yang direbus dengan garam.
Baca juga: Butuh Terobosan untuk Melindungi ABK Perikanan
Akhirnya, ZA baru memberontak setelah kapten kapal meminta ia pindah ke kapal lain tanpa perjanjian apa pun. ”Waktu itu saya menghubungi dan meminta bantuan Kedutaan Besar RI untuk Fiji. Namun, malah disuruh menghubungi perusahaan yang mengirim saya. Saya juga harus membayar tiket sendiri untuk pulang ke Indonesia,” kata ZA.
Waktu itu saya menghubungi dan meminta bantuan Kedutaan Besar RI untuk Fiji. Namun, malah disuruh menghubungi perusahaan yang mengirim saya.
Alfa dan ZA hanya dua contoh dari 55 orang yang melapor ke Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) terkait dugaan perkara perdagangan orang untuk dijadikan ABK migran pada 2019. Jumlah ini pun seperti fenomena gunung es karena diperkirakan masih banyak ABK migran yang menjadi korban, tetapi tidak melapor.
Koordinator Sosialisasi dan Pendidikan SBMI Maizidah Salas mengatakan, tidak ada data pasti terkait jumlah ABK migran yang diberangkatkan tiap tahun. SBMI hanya mendapatkan data dari Badan Perikanan Taiwan. Data tersebut menyebutkan, pada Juni 2019 ada 21.994 nelayan migran dari Indonesia yang dilaporkan bekerja di kapal penangkap ikan jarak jauh Taiwan.
SBMI bersama Greenpeace juga menyusun laporan tindakan-tindakan eksploitasi yang dialami para ABK migran. Tindakan itu antara lain jam kerja melebihi batas waktu, bahkan lebih dari 20 jam, tidak diberi makan secara layak, dan tidak mendapatkan fasilitas kesehatan ketika sakit.
”Mereka juga tidak diberi upah yang dijanjikan serta dipukuli dan diintimidasi secara verbal,” kata Salas.
Menurut Salas, meski sudah banyak laporan terkait eksploitasi itu, Indonesia belum memiliki payung hukum yang bisa diimplementasikan dalam upaya perlindungan bagi ABK migran. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia memang sudah memuat aturan terkait ABK migran.
Namun, dari UU itu, belum ada peraturan turunan yang sampai kini belum disahkan. ”Kementerian terkait pun seakan lempar tanggung jawab untuk masalah ini,” ujarnya.
Meski sudah banyak laporan terkait eksploitasi itu, Indonesia belum memiliki payung hukum yang bisa diimplementasikan dalam upaya perlindungan bagi ABK migran.
Baca juga: Waspadai Kasus Perdagangan Orang
Pelaksana Tugas Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Tatang Budi Utama Razak mengakui, koordinasi dan harmonisasi kementerian ataupun lembaga terkait ABK migran masih menjadi masalah.
Peraturan turunan dari UU Nomor 18/2017 juga masih bergulir karena masih ada perbedaan pandangan dari sejumlah kementerian, terutama Kementerian Perhubungan.
”Sinkronisasi peraturan pemerintah yang mengatur soal ABK masih belum tuntas. Sekarang masih dalam finalisasi sambil menunggu pembentukan badan baru pengganti BNP2TKI. Ini sudah berproses, tinggal tunggu hitungan hari,” katanya.
Ratifikasi
Salas juga mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi dan mengimplementasikan Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Ratifikasi ini diperlukan untuk memperkuat perundang-undangan nasional.
Ratifikasi ini juga penting guna memastikan semua lembaga terkait bisa berjalan efektif. Dari Asia Tenggara, baru Thailand yang meratifikasi konvensi ini.
”Pemerintah juga perlu berinvestasi dalam pengawasan dan inspeksi, memastikan keberadaan pengawas ketenagakerjaan di pelabuhan-pelabuhan, dan meningkatkan transparansi pada dokumentasi dan kondisi para nelayan migran yang bekerja di semua armada penangkapan ikan jarak jauh,” tuturnya.
Baca juga: Indonesia Soroti Perlindungan Anak Buah Kapal di Korsel