Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2019 terasa miskin narasi. Hanya beberapa media yang mengangkat isu dan bahaya korupsi.
Oleh
·2 menit baca
Harian ini menulis dengan judul besar ”Korupsi Ancam Hak Publik” disertai hasil penelitian Litbang Kompas dan survei opini publik soal ancaman korupsi. Indopos menulis ”Megakorupsi Jangan Di-SP3”, sedangkan Media Indonesia menulis ”Cegah Korupsi Semua Pihak Diminta Komit”.
Peringatan Hari Antikorupsi, Senin (9 Desember 2019), berlangsung sepi dari narasi besar. Di media daring, ketidakhadiran Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Antikorupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menjadi bahasan. Presiden Jokowi memilih hadir pada acara peringatan Hari Antikorupsi di SMKN 57. Sejumlah menterinya main teater. Wakil Presiden Ma’ruf Amin ditugasi Presiden Jokowi untuk hadir di KPK.
Di sejumlah kementerian, yang justru paling menonjol di Kementerian Keuangan. Kemenkeu lebih awal memperingati Hari Antikorupsi. Pada 3 Desember 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan pesan penuh substansi. ”Korupsi adalah musuh yang sangat nyata, tantangan yang bisa menghancurkan negara. Kita tidak perlu musuh dari luar, musuh dari dalam kita sendiri yang biasanya bisa meruntuhkan bangsa,” kata Sri Mulyani. (Kompas, 7/12/2019)
Identifikasi Menkeu benar adanya. Korupsi adalah musuh utama bangsa ini. Sejarah juga mengajarkan kehancuran sebuah negara bisa disebabkan oleh masifnya korupsi. Asosiasi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tahun 1779 pernah dipelesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie, runtuh karena korupsi yang akut di asosiasi itu. Tumbangnya Orde Baru sedikit banyak disebabkan korupsi yang merajalela, sampai lahir Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Kita tidak perlu musuh dari luar, musuh dari dalam kita sendiri yang biasanya bisa meruntuhkan bangsa.
Publik berharap Presiden Jokowi yang tidak punya beban pada masa jabatan keduanya tetap punya komitmen kuat untuk memberantas korupsi dan mencegah kemunculan kembali gejala kolusi dan nepotisme. Publik pun berharap Presiden memiliki komitmen melunasi janji kampanye, sebagaimana tertuang dalam dokumen Nawacita. Dalam dokumen itu tertulis antara lain, ”Kami berkomitmen membuat regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi, RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Tunai, RUU Kerja Sama Timbal Balik”. Dalam bagian lain juga ditulis, ”Kami akan mendukung KPK yang telah menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk tetap independen”.
Pandangan Amos Bronson Alcott, seorang guru dan pendidik, dalam buku KPK Berdiri untuk Negeri (2019) mungkin bisa menjadi bahan pemikiran. Alcott menulis, ”Sebuah pemerintahan yang hanya melindungi kepentingan bisnis, tak lebih dari sekadar cangkang, segera runtuh oleh korupsi itu sendiri.” Kita yakin bangsa ini tidaklah demikian.