Isu HAM dan demokrasi saat ini ada di pinggiran, tersingkir oleh prioritas baru, yaitu perdagangan, investasi, dan infrastruktur. Diperlukan konsolidasi gerakan dari para penggiat demokrasi maupun hak asasi manusia.
Oleh
B JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
Saat dunia bergerak begitu cepat, tantangan yang dihadapi juga semakin kuat. Di Madrid, Spanyol, perwakilan komunitas global tengah menatap dunia yang sedang didera dampak-dampak perubahan iklim dan pemanasan global. Tidak dimungkiri, cepat atau lambat, kenaikan permukaan air laut sebagai dampak dari naiknya suhu udara dan melelehnya es di kutub berpotensi menenggelamkan negara-negara kepulauan di Pasifik Selatan. Bila komunitas global tidak segera bertindak, keberadaan negara-negara itu--termasuk warganya--terancam.
Pada saat sama di Bali, para pemangku kepentingan untuk isu demokrasi dan hak asasi manusia juga ”berpacu” dengan perubahan global. Ditemui di sela-sela konsultasi untuk isu kebebasan berpendapat dan berekspresi yang digelar oleh Komisi HAM Antarnegara ASEAN (AICHR), Senin (9/12/2019), Penasihat Senior Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin mengatakan, ada kecenderungan praktik demokrasi dan pemenuhan HAM cenderung melemah.
Menurut Rafendi, ada beberapa hal yang mengindikasikan kondisi itu. Banjir pengungsi dan migrasi—dampak dari konflik, kekeringan, kemiskinan, atau kombinasi dari ketiga hal itu—yang mengalir deras ke Eropa justru berhadapan dengan kuatnya ”benteng” xenofobia.
Peristiwa yang seharusnya segera memicu tanggung jawab global justru memantik ”ketakutan” yang berdampak pada sikap dan pilihan untuk menutup diri bagi pengungsi. Lewat perangkat demokrasi, kelompok kanan mengambil kendali sebagian negara-negara Eropa dan menahan pemenuhan tanggung jawab atas pengungsi. Ada erosi atas ”kemapanan” nilai-nilai HAM yang dulu turut membentuk Eropa dan sejumlah negara maju.
Isu lain yang turut memengaruhi, kata Rafendi, adalah perubahan prioritas banyak negara di dunia, yaitu pertumbuhan ekonomi. Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Institut untuk Perdamaian dan Demokrasi I Ketut Putra Erawan. ”Isu HAM dan demokrasi saat ini ada di pinggiran, tersingkir oleh prioritas baru, yaitu perdagangan, investasi, dan infrastruktur,” kata Erawan.
Dalam konteks kawasan dan global, pertarungan dua kekuatan ekonomi global, yaitu Amerika Serikat dan China— dalam perang dagang—membuat banyak negara mengambil sikap siaga. Masing-masing mencari cara untuk mempertahankan kinerja dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Menurut Rafendi, di banyak negara, termasuk Indonesia, demi menarik investasi dan meningkatkan daya saing perdagangan, pemerintah merancang ketentuan-ketentuan yang ”tidak ramah” pada pemenuhan HAM.
Dalam konteks Indonesia, pernyataan itu merujuk pada wacana atau rencana pemerintah melahirkan undang-undang sapu jagat atau omnibus law. Baik Rafendi maupun Erawan menilai, ketentuan itu berpotensi mengancam hak- hak masyarakat, misalnya dalam proses pembebasan tanah untuk pembangunan atau pembuatan amdal.
Sayangnya, membicarakan isu-isu sensitif di tengah upaya pemerintah mengejar prioritas mereka adalah sesuatu yang tidak mudah. Apalagi, menurut Erawan gerakan kelompok madani saat ini juga relatif menurun. Di tengah situasi semacam itu, diperlukan konsolidasi gerakan dari para penggiat demokrasi maupun hak asasi manusia. Secara prinsip, banyak perangkat telah tersedia, termasuk di kawasan.
Perwakilan Indonesia untuk AICHR, Yuyun Wahyuningrum mengatakan, AICHR memberi ruang bagi para pihak untuk membagikan pengalaman yang memungkinkan mereka untuk membuat kerangka kerja, dan rujukan bila masing-masing pemerintah hendak membuat ketentuan baru yang ramah HAM.
“Sejumlah deklarasi–meskipun tidak mengikat–dapat menjadi pedoman atau panduan,” kata Yuyun.
Terkait peran AICHR, Erawan berpendapat, lembaga itu dapat menjembetani kesenjangan antara kelompok madani dan pemerintah. “AICHR dapat membantu membuat negara menjadi nyaman untuk membicarakan isu-isu yang sensitif,” kata Erawan.