Kehadiran desa wisata kopi Cibeureum diyakini memberdayakan ekonomi warga setempat sekaligus mengembangkan hasil kopi Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Dukungan pemerintah dibutuhkan agar inovasi ini cepat berkembang.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS — Kehadiran Desa Wisata Kopi Cibeureum diyakini dapat memberdayakan ekonomi warga setempat sekaligus mengembangkan hasil kopi dari Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Dukungan pemerintah dibutuhkan agar inovasi ini lebih cepat berkembang.
Desa Wisata Kopi Cibeureum digagas Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon bersama pemerintah desa setempat. Bupati Kuningan Acep Purnama, Selasa (10/12/2019) siang, meresmikan peluncuran program tersebut di Blok Dusun Endang Jumanga, Desa Cibeureum, Kecamatan Cilimus. Turut hadir pejabat Pemkab Kuningan, kepala desa se-Cilimus, dan sejumlah petani kopi.
Berada di kaki Gunung Ciremai, desa yang berjarak sekitar 18 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Kuningan itu menyajikan suasana alam yang sejuk. Selain terdapat bumi perkemahan hutan pinus, desa ini juga menyuguhkan jogging track sepanjang 2 kilometer mengitari kebun kopi.
Saat panen, pengunjung diizinkan memetik kopi hingga mengikuti pencucian, pengeringan, serta proses pengolahan lainnya. Pengunjung dapat menikmati seduhan kopi jenis robusta itu di Lakaside Café, sekitar 150 meter dari kebun. Produk olahan kopi lainnya seperti kerupuk juga tersaji.
Di depan kafe, terbentang Setu Sanghiang Kendit dan Kampung Katumbiri yang dinding rumah serta gentengnya berwarna-warni. Pemandangan itu berlatar Ciremai, gunung tertinggi di Jabar yang mencapai 3.078 meter di atas permukaan laut. Fasilitas seperti mushala dan toilet juga tersedia.
“Dengan pariwisata ini, kami berharap warga punya penghasilan sehingga daya beli mereka terjaga. Mereka bisa berjualan oleh-oleh produk khas setempat. Apalagi, potensi kopinya besar. Beberapa kali, kami bawa pameran selalu habis,” ujar Kepala Perwakilan BI Cirebon Fadhil Nugroho.
Kopi Cibeureum berada di ketinggian 500–700 mdpl. Rasanya pun unik karena tumbuh di sekitar pohon cengkeh dan durian. Namun, perlakuan budidaya hingga pascapanen belum cukup baik. Saat panen, misalnya, petani masih banyak yang memetik buah kopi asalan, bukan yang tua dan berwarna merah.
Oleh karena itu, sejak 2018, pihak Perwakilan BI Cirebon mulai membina petani kopi setempat untuk meningkatkan kualitas hasil panen. Selain melatih cara budidaya hingga pascapanen, petani juga menerima bantuan peralatan pencucian, penjemuran, penggilingan, hingga gudang. Untuk pemasaran, menurut Fadhil, pihaknya membawa kopi Cibeureum ke pameran di berbagai kota.
”Kami ingin lihat, apakah tahun depan program (pembinaan) ini masih lanjut atau tidak. Ini tergantung masyarakat dan dibutuhkan dukungan Pemkab Kuningan,” kata Fadhil.
Komala, ketua Kelompok Tani Kopi Ratu Asih mengatakan, upaya menghasilkan kopi berkualitas di Cibeureum sudah dimulai sejak 2016 oleh sejumlah pegiat kopi di Cirebon. Kehadiran Kantor Perwakilan BI Cirebon mempercepat proses pembelajaran petani.
”Sekarang, sudah ada 11 petani yang menerapkan panen petik merah. Memang tidak mudah mengubah kebiasaan puluhan tahun, tetapi kami terus berupaya,” ungkapnya.
Sebagian besar petani masih memetik buah kopi yang belum matang atau berwarna hijau karena lebih cepat dan terserap pasar. Padahal, harga biji beras kopi (green bean) setempat yang dipetik hijau hanya Rp 25.000 per kilogram (kg). Sementara untuk hasil petik merah dapat mencapai Rp 60.000 per kg dengan pengolahan natural.
”Tahun lalu, hasil panen petik merah sebanyak 1 ton langsung habis diserap kedai di Cirebon dan sekitarnya. Sekarang, kami siapkan 1,5 ton kopi. Kami berharap, pemkab punya kebijakan menyerap kopi petani yang berkualitas dan menyajikannya di acara-acara pemerintah,” ujar Komala.
Setiap tahun, Cibeureum mampu memproduksi lebih dari 40 ton kopi dari kebun seluas 35 hingga 40 hektar.
Kepala Desa Cibeureum Suheri mengatakan, sejak ditetapkan sebagai desa wisata kopi, masyarakat mulai merasakan perbaikan budidaya kopi dan masalah lingkungan. ”Warga tidak buang sampah di sungai lagi. Desa ini bisa menjadi gerbang wisata Kuningan,” ucapnya.
Bupati Kuningan Acep Purnama mengapresiasi langkah Kantor Perwakilan BI Cirebon menjadikan Cibeureum sebagai desa wisata kopi. Ini sesuai dengan target pemkab menjadikan 25 dari 361 desa sebagai desa wisata.
Desa-desa tersebut diharapkan mampu meningkatkan kunjungan wisatawan. Tahun lalu, lebih dari 4 juta orang berwisata ke Kuningan. Jumlah ini yang terbanyak dibandingkan Cirebon, Majalengka, dan Indramayu. ”Kami mendukung dengan membangun infrastruktur menuju desa,” katanya.
Menurut Acep, pihaknya telah menerbitkan Peraturan Bupati Kuningan Nomor 30 Tahun 2017 tentang Penggunaan Pangan Pituin (Pangan Lokal) di Lingkungan Pemerintah Daerah Kuningan. Aturan ini mewajibkan jajaran pemkab hingga desa memanfaatkan pangan lokal dalam acara-acara kedinasan. ”Salah satunya kopi. Aturan ini sudah berjalan,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kuningan, luas tanam kopi di daerah itu pada 2017 mencapai 1.631 hektar (ha) atau menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 1.865 ha. Namun, produksi yang pada 2016 hanya 75 ton akibat pengaruh cuaca, pada 2016 meningkat menjadi 1.120 ton.