Sengkarut alokasi lahan di Batam, Kepulauan Riau, dinilai menjadi salah satu penyebab kegagalan pemerintah memanfaatkan momentum perang dagang China dan Amerika Serikat untuk mendatangkan investasi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Sengkarut alokasi lahan di Batam, Kepulauan Riau, dinilai menjadi salah satu penyebab kegagalan pemerintah memanfaatkan momentum perang dagang China dan Amerika Serikat untuk mendatangkan investasi. Hingga kini tercatat sekitar 7.000 hektar lahan di Batam bermasalah.
Kepala Kantor Pengelolaan Lahan Badan Pengusahaan (BP) Batam Imam Bachroni, Selasa (10/12/2019), mengatakan, dari 7.000 hektar lahan bermasalah, masalah terbesar adalah lahan yang sudah dialokasikan belum dimanfaatkan pemiliknya untuk kegiatan usaha.
”Sebagian lagi adalah lahan yang bermasalah karena penetapan lokasi (PL) tumpang tindih. Jadi, ada dua pihak saling klaim sama-sama memegang hak pengelolaan di atas lahan yang sama,” kata Imam.
Sengkarut lahan itu memperburuk tingkat kepastian berusaha di Batam di mata investor. Dampaknya, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam tidak berhasil bersaing menjadi lokasi ekspansi sejumlah perusahaan asing yang terkena imbas perang dagang Amerika Serikat-China.
Dari 33 perusahaan asal China yang hendak berekspansi ke Asia Tenggara, sebanyak 23 perusahaan memilih Vietnam, sedangkan 10 perusahaan lain memilih berinvestasi di Thailand, Malaysia, dan Kamboja. Hal ini disorot secara khusus oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas tentang kinerja perdagangan dan investasi di Kantor Presiden (Kompas, 31/10/2019).
”Hal itu akan segera diperbaiki. Yang pertama dilakukan adalah mendorong investasi di lahan yang sudah teralokasi,” ujar Deputi Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi BP Batam Sudirman Saad.
Dalam waktu dekat, para pengusaha yang memiliki hak pengelolaan di lahan mangkrak itu akan dipanggil dan dimintai keterangan terkait hambatan yang dialami. Dengan begitu, diharapkan mereka bisa memberikan kepastian terkait pemanfaatan lahan yang telah diberikan.
Pada saat bersamaan, sistem pengajuan permohonan alokasi lahan juga akan disederhanakan untuk mengundang investor baru masuk ke Batam. Sebelumnya, proses alokasi lahan yang berbelit membuat pengajuan investasi jadi sangat lama karena membutuhkan banyak syarat untuk dilengkapi.
Menurut Sudirman, lewat sistem yang sudah disederhanakan, pengajuan permohonan alokasi lahan kini bisa selesai dalam hitungan hari. Untuk mendukung hal itu, sudah dibentuk kelompok kerja khusus yang bertugas menilai kelayakan permohonan investasi dari aspek yuridis, teknis, dan bisnis.
Setelah permohonan investasi dinyatakan layak oleh kelompok kerja, pemohon akan mendapatkan berkas acara. Berbekal dokumen itu dan nomor induk berusaha (NIB), pemohon bisa melanjutkan prosesnya lewat sistem pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (OSS).
”Lewat sistem itu, pemohon sudah bisa mendapatkan dokumen PL dan dokumen uang wajib tahunan (UWT) dalam waktu kurang dari 30 menit,” kata Kepala Pelayanan Terpadu Satu Pintu Endry Abzan.
Sudirman menyatakan, sistem OSS memungkinkan pemohon bisa mendapat perjanjian penggunaan lahan (PPL) lewat proses yang lebih sederhana. Penggunaan sistem digital itu dianggap penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas di tengah tuntutan memberikan pelayanan yang serba cepat.