Kondisi ketidakpastian global diperkirakan masih berlanjut pada 2020. Disamping menjaga daya tahan internal, Indonesia juga mesti memanfaatkan peluang.
Oleh
ARIS PRASETYO/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Indonesia masih punya peluang besar di tengah ketidakpastian global akibat proteksionisme dan perang dagang Amerika Serikat dengan China. Demi memanfaatkan peluang itu, Indonesia perlu memperbaiki kondisi internal agar iklim investasi dalam negeri semakin menarik.
Bagi Indonesia, peran vital di kawasan Asia Tenggara merupakan sebuah modal besar.
"Ketidakpastian global diperkirakan masih akan berlangsung lama dan belum kelihatan ujung dari perang dagang Amerika Serikat dengan China. Artinya, Indonesia masih akan terus menghadapi dunia yang tidak pasti tersebut," kata Menteri Perdagangan periode 2004-2011 Mari Elka Pangestu dalam seminar publik bertema "Is Globalization Doomed?" yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Senin (9/12/2019), di Jakarta.
Dalam menghadapi ketidak pastian, lanjut Mari, Indonesia masih punya peluang besar. Indonesia harus mampu memperluas akses pasar karena terjadi banyak relokasi dan diversifikasi investasi akibat ketidakpastian dalam perdagangan global. Negara yang punya iklim investasi paling menarik akan jadi tujuan utama relokasi dan diversifikasi tersebut.
"Syarat agar Indonesia menjadi tujuan investasi baru, harus ada perbaikan regulasi agar lebih ramah terhadap investasi. Pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur, yang kini menjadi prioritas pemerintah, harus terus dilanjutkan," ujar Mari.
Hubungan bilateral yang besar dan signifikan, seperti dengan Uni Eropa, menurut Mari, harus didorong dan diperluas. Indonesia juga harus mampu berperan aktif mengambil peluang baru di pasar kecil dan kurang terjangkau, seperti negara-negara di Afrika. Maka, kemampuan negosiasi memperluas pasar sangat penting.
Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte menambahkan, di Asia Tenggara, Indonesia punya peran vital. Tanpa pengaruh Indonesia, ASEAN bukanlah organisasi yang besar dan diperhitungkan. Begitu pula peran aktif Indonesia dalam organisasi perdagangan dunia (WTO) dan kelompok negara dengan perekonomian terbesar di dunia (G-20).
"Di tengah sikap proteksionisme beberapa negara, Indonesia harus tetap pada prinsip, dunia bergerak sedemikian rupa dan tidak ada negara yang bisa berdiri sendiri. Secara ekonomi, sebuah negara tidak bisa menutup diri dari pergerakan barang, modal, dan jasa. Apalagi di tengah serbuan teknologi informasi yang kian gencar," ujar Vermonte.
Direktur Jenderal WTO 2005-2013 Pascal Lamy, yang menjadi pemateri utama seminar publik di CSIS, mengatakan, yang terjadi antara AS dengan China dalam perang dagang dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) adalah salah satu bentuk deglobalisasi yang justru menciptakan ketidakefisienan. Deglobalisasi menimbulkan konsekuensi.
Pascal berpandangan, globalisasi adalah fase ekspansi dari kapitalisme pasar yang menghasilkan pertukaran intensif di dunia internasional berupa perdagangan barang, modal, dan jasa. Namun, sejak krisis ekonomi dunia pada 2009, yang menumbuhkan gejolak sosial dan politik, muncul ide deglobalisasi yang berlawanan dengan globalisasi. Deglobalisasi membuat ekonomi dunia semakin terpecah-pecah, bukannya bersatu.
"Apakah deglobalisasi adalah jalan yang harus ditempuh? Jawaban saya, tidak. Mengingat tingkat saling ketergantungan yang sudah kita capai, (deglobalisasi) itu akan sangat mahal dampaknya," kata Pascal.
Jadi penopang
Di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Endy Dwi Tjahjono mengatakan, sampai saat ini kondisi ekonomi global belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
Dalam kondisi ekonomi yang melambat, hampir semua bank sentral melakukan kebijakan akomodatif dengan menurunkan suku bunga acuan.
Meskipun kondisi global masih memperlihatkan ketidakpastian, tambah Endy, Indonesia tetap dapat tumbuh di atas 5 persen pada 2020. Untuk itu, konsumsi rumah tangga harus tetap dijaga. Kelas menengah yang terus bertambah menjadi penopang konsumsi. (APO/NAD)