Menakar Pidana Korupsi kepala Daerah
Perbandingan antara besarnya tuntutan dan vonis kasus korupi yang dijatuhkan di pengadilan tingkat pertama terhadap kepala daerah menunjukkan sebagian besar vonis lebih rendah daripada tuntutan.
Jarak antara besaran tuntutan dan vonis terkait pidana penjara dan denda pada perkara korupsi kepala daerah sangat beragam. Di tengah kemandirian hakim, pedoman pemidanaan tetap diperlukan.
Kesimpulan ini terekam dari hasil penelusuran Litbang Kompas terhadap 139 kasus korupsi yang melibatkan 121 kepala daerah yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dari 2004 hingga November 2019.
Dari jumlah yang berhasil dihimpun tersebut, ada 116 perkara yang memiliki kelengkapan data tuntutan dan vonis penjaranya. Dari data tersebut kemudian dilakukan perbandingan antara besarnya tuntutan dan vonis yang dijatuhkan pada pengadilan tingkat pertama.
Hasilnya, sebagian besar vonis majelis hakim lebih rendah daripada tuntutan jaksa penuntut umum. Jika dikategorikan, ada tiga kelompok vonis lebih rendah dengan derajat selisih yang berbeda dengan tuntutan. Pertama, besarnya vonis lebih rendah enam bulan hingga dua tahun enam bulan. Terdapat 60 kasus (51,7 persen) yang masuk kategori ini.
Kedua, selisih vonis lebih rendah dua tahun tujuh bulan hingga empat tahun penjara. Di kategori ini terdapat 22 kasus. Ketiga, vonis lebih rendah empat hingga delapan tahun penjara dibandingkan dengan tuntutan. Di kelompok ketiga ini ada 16 kasus.
Di sisi lain, ditemukan juga vonis pidana penjara yang besarannya sama dengan tuntutan, yakni 11 perkara. Sebaliknya, ada lima perkara yang vonisnya lebih tinggi daripada tuntutan. Selisihnya enam bulan sampai dua tahun penjara lebih berat daripada tuntutan.
Sepanjang 2004-2019, ada dua kepala daerah yang divonis bebas pada pengadilan tingkat pertama. Pertama, Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad yang diputus bebas oleh Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat, tahun 2011.
Sebelumnya, ia dituntut 12 tahun penjara terkait penyuapan dan penyalahgunaan APBD. Kedua, Aswad Sulaiman, mantan Bupati Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, yang didakwa dalam kasus korupsi pembangunan kantor bupati Konawe Utara. Sebelumnya, Aswad dituntut dua tahun penjara.
Pengadilan Tipikor Kendari pada April 2017 menjatuhkan vonis bebas.
Meskipun demikian, dua vonis bebas ini pada akhirnya tidak bertahan lama. Di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA), Mochtar dan Aswad dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Tidak hanya itu, Aswad kemudian kembali ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pemberian izin usaha pertambangan.
Baca juga: Korupsi Ancam Hak Publik
Terlepas dari upaya penindakan yang dilakukan KPK, khususnya yang menyangkut korupsi kepala daerah, banyaknya vonis yang lebih rendah daripada tuntutan patut menjadi kajian. Apalagi, munculnya disparitas antara tuntutan dan vonis tidak hanya terjadi pada pidana penjara.
Hal yang sama juga bisa ditemui pada pidana denda. Hasil kajian Litbang Kompas mencatat, dari total perkara yang ditelusuri, ada 88 perkara yang ditemukan vonis dendanya. Hanya 32 dari 88 perkara yang vonis dendanya sesuai dengan tuntutan jaksa. Sebaliknya, hanya empat perkara yang vonis dendanya melebihi tuntutan dengan kisaran Rp 500 juta sampai Rp 1,7 miliar lebih besar daripada tuntutan. Sisanya, vonis pidana denda lebih kecil daripada tuntutan dengan selisih berbeda.
Pencabutan hak politik
Selain pidana penjara dan denda, pidana tambahan juga diterapkan dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik, termasuk kepala daerah. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Tipikor diatur pencabutan hak tertentu sebagai salah satu bentuk pidana tambahan. Salah satunya adalah pencabutan hak politik yang dimaknai sebagai dicabutnya hak seseorang untuk dipilih ataupun memilih.
Berpijak dari 139 kasus korupsi yang menjerat kepala daerah, ada 18 terpidana yang hak politiknya dicabut dengan rentang waktu bervariasi. Separuh dari terpidana itu dicabut hak politiknya selama masa lima tahun.
Meski begitu, tidak semua tuntutan jaksa terkait pencabutan hak politik dikabulkan majelis hakim. Sebagai contoh, pada Desember 2018, majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung tidak mengabulkan tuntutan jaksa untuk mencabut hak politik Bupati Bandung Barat Abu Bakar. Pertimbangannya, yang bersangkutan sudah menjabat dua periode sebagai kepala daerah. Apalagi dari segi usia, kecil kemungkinan kembali terjun ke politik (Kompas, 6/2/2019).
Soal pencabutan hak politik ini, Andreas Marbun, peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI), menyatakan, ada empat tujuan pemidanaan, yakni retribusi, inkapasitasi, deterrence (penggentaran), dan rehabilitasi. Berkaitan dengan pencabutan hak politik, tujuan pemidanaan yang ingin dicapai adalah pencegahan dan inkapasitasi.
Dalam hal pencegahan, pemidanaan bertujuan mencegah orang tidak melakukan kejahatan. Sementara, inkapasitasi bertujuan memisahkan orang jahat dan baik. Jadi, menurut Marbun, pencabutan hak politik dilakukan agar hanya orang-orang baik yang dapat dipilih oleh rakyat sebagai wakil dan pemimpin mereka.
Pedoman hakim
Sementara itu, perbedaan antara vonis dan tuntutan juga tidak lepas dari otoritas hakim. Hakim memiliki kemerdekaan dalam mengadili perkara. Tidak ada satu pun regulasi atau pedoman yang mengharuskan hakim menjatuhkan hukuman yang sejalan dengan tuntutan jaksa penuntut umum.
Menurut UU Tipikor, perkara korupsi memiliki rentang hukuman penjara satu hingga 20 tahun. Rentang hukuman yang sangat jauh ini berkontribusi pada lahirnya disparitas pemidanaan korupsi. Pada akhirnya, perkara korupsi bisa dijatuhi hukuman penjara atau denda yang jauh berbeda, padahal jumlah kerugian negaranya bisa saja sama.
Soal ini, Marbun membandingkan konsepsi yang ada di KUHP yang dinilainya memiliki sistem yang lebih baik. ”Misalnya penganiayaan. Jika itu ternyata berat, ditambah sepertiga (hukumannya). Seharusnya korupsi juga bisa diperlakukan seperti ini. Apabila penggelapan merugikan keuangan negara, (hukumannya) bisa diperberat menjadi berapa. Saat ini range hukuman korupsi terlalu lebar, hakim seperti memiliki cek kosong yang bisa diisi dengan bebas,” tutur Marbun.
Menurut dia, MA seharusnya segera menerbitkan pedoman pemidanaan dalam penjatuhan hukuman bagi terpidana korupsi. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari disparitas pemidanaan. Variabel-variabel penting yang biasanya muncul di putusan, seperti pekerjaan, peran, jenis korupsi, kesengajaan, dan kerugian negara, dapat dikalkulasi untuk menghitung hukuman yang lebih adil.
Pedoman ini tidak berarti akan membatasi kemerdekaan hakim mengadili perkara. Pada dasarnya, undang-undang sendiri sudah mengatur rentang hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Akan tetapi, dengan adanya pedoman, nantinya putusan lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Hal ini merujuk pada apa yang disampaikan Cassia C Spohn, ahli kriminologi dari Arizona State University, Amerika Serikat, yakni hakim harus mempunyai pertimbangan jelas saat menentukan besaran angka hukuman. Artinya, jika ada disparitas antara vonis dan tuntutan, tentu pertimbangannya lebih kuat dan beralasan (warranted disparity).
Sampai saat ini upaya pencegahan disparitas baru berbentuk surat edaran. Tahun 2009, MA mengeluarkan surat edaran pembinaan personel hakim. Salah satunya memerintahkan ketua pengadilan tingkat banding mencegah disparitas putusan. Sementara, Kejaksaan Agung pada 2010 juga menerbitkan surat edaran tentang pedoman tuntutan perkara korupsi.
Pada akhirnya, penyelesaian perkara korupsi semestinya dilakukan dari hulu ke hilir. Palu hakim seyogianya menjadi penentu yang menjaga hakikat keadilan. Jangan sampai penjatuhan hukuman terhadap koruptor justru memupuskan harapan publik akan pemberantasan korupsi di negeri ini.