Merunut Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Hari HAM sedunia diperingati setiap tanggal 10 Desember. Apakah peringatan Hari HAM tahun ini memberikan makna khusus tentang penyelesaian pelanggaran berat di masa lalu?
Sebagai negara berpendapatan menengah (Rp 56 juta per kapita per tahun) dan cukup demokratis (Indeks Demokrasi 72,39), Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah di bidang HAM. Berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan di masa lalu hingga kini tak kunjung menemukan titik terang. Sampai hari ini, tak satu pun pelanggaran berat HAM yang bisa diurai secara tuntas.
Dilema antara upaya hukum dan nonhukum yang akan diterapkan menyebabkan tarik-menarik politis yang tak kunjung tuntas.
Kasus yang dikategorikan pelanggaran HAM berat (bersifat sistematis dan masif), menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), adalah mulai dari Peristiwa 1965/1966 hingga Peristiwa Wasior Wamena 2000-2003. Ada pula kasus yang terjadi di Aceh (lihat tabel).
Sejauh ini, Komnas HAM sudah berupaya menyerahkan berkas penyelidikan kepada Kejaksaan Agung. Kendati demikian, Kejaksaan Agung belum membuat langkah konkret penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM tersebut. Jaksa Agung adalah aparat negara yang berwenang menyidik berkas pelanggaran HAM berat sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Di sisi lain, pemerintah mengupayakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara non-litigasi (bukan penyelesaian perselisihan hukum di pengadilan). Pada tahun 2004, pemerintah membuat lembaga penyelesaian berupa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang bertujuan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di luar pengadilan.
Nuansa politik dinilai publik sangat berpengaruh.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk melalui UU Nomor 27 Tahun 2004 memiliki semangat menyelesaikan konflik HAM berat masa lalu secara ”damai”, di luar sistem pengadilan. Tugas ini dikatakan ”guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa”. Selain itu, KKR juga berperan ”mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian”. Tentu saja ada plus minus dari sistem ini.
Di dalam undang-undang itu, ada pasal tentang amnesti (pengampunan) oleh presiden kepada pelaku pelanggaran HAM berat dengan syarat mohon maaf kepada korban. Undang- undang KKR juga mengatur layanan kompensasi, restitusi (ganti rugi), dan rehabilitasi (pemulihan nama baik).
Namun, karena hal ini dinilai tak sesuai dengan persepsi internasional yang tak memberi amnesti bagi pelanggar HAM berat, pada tahun 2006, seluruh pasal dalam UU itu dibatalkan MK. Dua jalur penyelesaian pelanggaran HAM berat ini pada akhirnya ”menggantung” penyidikan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat sehingga tetap pada status quo.
Penyelesaian terhadap Peristiwa 1965, misalnya, berbenturan dengan keberatan dari kalangan militer dan khalayak NU yang menilai permintaan maaf kepada korban Peristiwa 1965 berarti membuat tindakan di masa lalu menjadi ”dianggap salah”, dan mereka berada pada posisi ”penjahat”. Padahal, peristiwa di masa lalu itu dianggap sebagai keniscayaan untuk memberantas elemen-elemen komunisme yang saat itu dianggap melawan negara.
Nuansa politik dinilai publik sangat berpengaruh. Berdasarkan sebuah hasil riset Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Litbang Kompas, mayoritas publik Indonesia menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo- Wakil Presiden Ma’ruf Amin sulit menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu karena menjaga ”harmoni politik”.
Berdasarkan hasil survei tatap muka secara nasional September-Oktober 2019 itu, 73,9 persen responden menganggap nuansa politis menjadi hambatan utama. Selain itu, 23,6 persen beranggapan presiden tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah kasus HAM masa lalu dan hanya 2,5 persen yang menjawab tidak tahu.
Konsep HAM
Di sisi lain, konsep perlindungan HAM juga mengalami dinamika. Secara normatif, berdasarkan Undang- Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM adalah perbuatan orang atau kelompok orang, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia (Pasal 1 Ayat 6).
Hak asasi manusia yang dimaksud adalah hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan wajib dihormati, dijunjung, dan dilindungi negara, pemerintahan, ataupun semua orang. Setiap orang dianggap berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi.
Termasuk di dalam tindakan melanggar HAM adalah pembatasan, pelecehan, atau pengucilan pada manusia atas dasar agama, suku, ras, kelompok, jenis kelamin, dan keyakinan politik. Demikian pula setiap perbuatan yang dilakukan sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik jasmani maupun rohani, dianggap pelanggaran HAM.
Dari hasil polling terbaru, pelanggaran HAM banyak dipahami dalam konteks perbuatan yang bersifat menindas/ menganiaya dan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Hasil jajak pendapat 4-6 Desember 2019 menunjukkan, penganiayaan, tindakan asusila, penculikan, pembunuhan, dan SARA merupakan hal yang paling banyak dikonotasikan sebagai pelanggaran HAM yang masih berlangsung.
Tentu saja jawaban responden ini bersifat relatif berdasarkan informasi yang mengendap di benak responden. Namun, tampak benang merah pelanggaran HAM di mata publik lebih condong mencakup berkurangnya hak seseorang akibat perbuatan orang lain. Dimensi peristiwa yang terjadi adalah ”man to man action”. Padahal, dalam konsep pelanggaran HAM, terlebih pelanggaran HAM berat, kerap kali yang terjadi tak bersifat individual, tetapi kolektif.
Para pelaku dan korban dari kasus pelanggaran HAM kerap kali sangat sulit diidentifikasi. Artinya, sangat tidak mungkin mempertemukan antara pelaku dan korban pelanggaran HAM. Hal ini diistilahkan MK sebagai pendekatan individual criminal responsibility sehingga tidak cocok diterapkan dalam konteks pelanggaran HAM berat sebagaimana dalam UU KKR yang dibatalkan.
Hak ekonomi dan sosial
Penyelesaian pelanggaran HAM berat juga makin menggantung manakala konsep HAM itu sendiri semakin luas. Sebagai contoh konsep pemenuhan HAM yang tak lagi sebatas dalam dimensi sipil-politik-keamanan, tetapi juga berkembang dengan pemenuhan konsep ekonomi-sosial-budaya.
Dalam hal ini, perspektif soal HAM meluas. HAM tak lagi hanya soal hak sipil dan politik, tetapi juga berkaitan erat dengan pemenuhan hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya. Di mata pemerintah, saat ini mereka berupaya memenuhi hak masyarakat terhadap akses pendidikan, kesehatan, dan manfaat pembangunan secara luas.
Pada akhirnya, publik memahami bahwa upaya memperjuangkan pemenuhan HAM saat ini memiliki plus minus. Pemerintah sekarang cenderung memberikan perbaikan daripada kondisi di masa lalu yang tecermin dari apresiasi responden. Meski demikian, masih besar proporsi responden yang menilai bahwa pemenuhan hak saat ini pun belum memenuhi.
Di sisi pelanggaran HAM berat, publik juga realistis (dan pesimistis?) bahwa pelanggaran HAM berat di masa lalu akan sulit bisa diungkap secara tuntas. Hal itu tecermin dari besarnya ketidakyakinan responden (61 persen) daripada yang yakin terhadap kemampuan pemerintah mengungkap tuntas pelanggaran HAM berat masa lalu (30 persen). Itulah kira-kira batas pemaknaan publik atas kondisi hak asasi manusia saat ini. (Litbang Kompas)