Minimnya Deteksi Hambat Pengobatan TBC Resistan pada Anak
›
Minimnya Deteksi Hambat...
Iklan
Minimnya Deteksi Hambat Pengobatan TBC Resistan pada Anak
Berbagai tantangan dijumpai dalam penanganan pada anak dengan TB resisten. Obat yang dikonsumsi oleh anak dengan TB resisten merupakan obat orang dewasa yang ditakar sesuai dosis yang dibutuhkan.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus tuberkulosis (TBC) yang resistan terhadap obat belum teratasi secara optimal, termasuk yang terjadi pada anak. Minimnya kesadaran deteksi dini menjadi penyebabnya sehingga pengobatan yang diberikan pun terlambat.
The Stop TB Partnership’s Global Drug Facility (GDF) memperkirakan, ada sekitar 1,1 juta anak usia di bawah 15 tahun menderita TBC tahun 2016. Dari jumlah itu diperkirakan 32.000 anak menderita TBC resistan. Namun, hanya sekitar 5 persen yang sudah terdiagnosis dan menerima perawatan dengan 50 anak di antaranya berada di Indonesia.
Ketua Bidang Pediatri dari Gheskio-Aliansi Kesehatan Global Haiti Vanessa Rouzier menuturkan, masalah TBC resistan pada anak belum menjadi perhatian serius bagi masyarakat di seluruh dunia. Bahkan, tidak ada data resmi yang mengungkapkan jumlah anak dengan resistan TBC dari setiap negara.
”Akibatnya edukasi pada masyarakat terkait deteksi TBC pada anak sangat minim. Diperkirakan sangat sedikit anak di seluruh dunia yang terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan yang tepat,” ujarnya saat dijumpai di Jakarta, Selasa (10/12/2019), di sela-sela pertemuan tahunan dari Stop TB Partnership terkait peluncuran rencana global untuk pemberantasan TBC.
Stop TB Partnership merupakan sebuah badan hukum di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkomitmen dalam pengentasan masyarakat dari penyakit TBC pada 2030. Organisasi ini telah menghubungkan lebih dari 2.200 mitra di seluruh dunia dari lintas sektor untuk berkolaborasi menyediakan layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas bagi pasien TBC.
Berdampak serius
Vanessa mengatakan, berbagai tantangan dijumpai dalam penanganan pada anak dengan TBC resistan. Obat yang dikonsumsi oleh anak dengan TBC resistan merupakan obat orang dewasa yang ditakar sesuai dengan dosis yang dibutuhkan.
Selain itu, anak juga harus mendapatkan injeksi obat rutin selama 9 bulan. Kondisi ini tentu bisa memberikan dampak trauma pada anak. Efek samping dari pengobatan ini pun bisa berdampak serius hingga menyebabkan kehilangan pendengaran secara permanen.
Ketua Global Drug Facility (GDF), yang juga menjadi anggota dari Stop TB Partnership, Brenda Waning, mengatakan, kini obat khusus untuk anak dengan TB resistan telah diproduksi meskipun jumlahnya masih terbatas.
Salah satunya delamanid. Obat baru ini juga telah direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk digunakan pada anak-anak usia 3 tahun karena minim efek samping yang berakibat permanen.
Komitmen tindak lanjut
Sudah ada 56 negara yang bisa mengakses obat tersebut dengan total anak yang mendapatkan perawatan sebanyak 1.100 anak dengan TBC resistan. Sampai saat ini pengadaan obat ini masih didukung penuh dari dana yang diberikan oleh pemerintah Jepang dan Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).
Ketua Forum Stop TB Indonesia Arifin Panigoro berharap, Pemerintah Indonesia segera menindaklanjuti komitmen dalam pemberantasan TBC di Indonesia melalui strategi aksi yang tepat. Ia pun mendorong agar peraturan presiden terkait pengentasan TBC segera diterbitkan.
”Dengan kebijakan dari pemerintah, strategi penanggulangan TBC bisa segera direalisasikan, termasuk dalam penguatan peran pemerintah daerah. Pemerintah daerah sangat berperan untuk mengingkatkan jangkauan kasus TBC yang belum terdeteksi di masyarakat,” ucapnya.