Jika pertemuan pertama Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky ini tidak berhasil, setidaknya hal itu menjadi awal untuk membuka babak baru.
Oleh
LUKI AULIA
·3 menit baca
PARIS, SENIN — Pertemuan pertama setingkat kepala negara ini merupakan salah satu upaya mengakhiri konflik antara Rusia dan Ukraina yang sudah berlangsung lima tahun hingga menewaskan sekitar 14.000 jiwa. Banyak pihak tidak yakin pertemuan yang akan dilakukan di Paris, Perancis, Senin (9/12/2019) waktu setempat, itu akan membuahkan kesepakatan damai yang dapat segera menyelesaikan konflik.
Meski demikian, pertemuan yang akan dimediasi oleh Presiden Perancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Angela Merkel itu setidaknya akan bisa meningkatkan kepercayaan di antara kedua belah pihak. Target dari pertemuan ini, antara lain, mencapai kesepakatan khusus dalam hal pembubaran kelompok milisi ilegal, membersihkan wilayah Donetsk dan Lugansk dari kelompok milisi asing, dan Ukraina berharap kembali mengambil alih kendali atas wilayah-wilayah perbatasan dengan Rusia.
Target-target ini merupakan implementasi dari hasil kesepakatan sebelumnya yang ditandatangani di Minsk, Belarus, pada 2015. Dalam kesepakatan tersebut disebutkan ajakan untuk menarik senjata berat, mengembalikan kendali Ukraina pada daerah perbatasan, otonomi lebih luas, dan menyelenggarakan pemilu lokal.
Pertemuan ini tidak akan mudah bagi seluruh pihak terlibat, terutama bagi Zelensky yang kini mendapat desakan dari rakyat Ukraina untuk tak mudah menyerah kepada Putin. Apalagi, isu perdamaian atau setidaknya mengakhiri konflik ini menjadi salah satu janji kampanye Zelensky yang memenangi pemilihan presiden tahun ini. Mengakhiri konflik dengan Rusia menjadi isu penentu kemenangannya.
Kekhawatiran rakyat Ukraina terhadap Zelensky diekspresikan dengan protes turun ke jalan, Minggu. Rakyat menuntut Zelensky tetap mengutamakan kepentingan nasional. Pemerintah Rusia dikhawatirkan berusaha memanfaatkan pertemuan di Paris itu untuk menekan Zelensky supaya memenuhi kesepakatan damai Minsk 2015.
Beda keinginan
Kesepakatan tersebut akan memberikan otonomi lebih luas kepada Donetsk dan Lugansk hanya jika konflik berakhir. Perbedaan keinginan antara Rusia dan Ukraina terletak pada pengaturan waktu antara penguasaan kembali perbatasan dan pemilu lokal. Pihak Zelensky menghendaki Ukraina harus mengambil alih kembali perbatasan sebelum pemilu lokal.
Hal ini berbeda dengan kesepakatan Minsk yang didukung oleh Rusia. Disebutkan bahwa Ukraina baru bisa mengambil kendali perbatasan hanya setelah pemilu lokal diselenggarakan di Donetsk dan Lugansk, dan kedua daerah itu juga harus memperoleh status otonomi terlebih dahulu. Usulan dari pihak Zelensky itu belum dapat diterima Rusia.
Kelompok separatis berharap Rusia, Perancis, dan Jerman menolak usulan Zelensky. ”Kesepakatan Minsk itu tidak bisa diubah lagi,” kata Natalya Nikonorova, Menteri Luar Negeri Republik Rakyat Donetsk.
Pihak Perancis menegaskan, pertemuan di Paris tersebut bukan untuk membuat kesepakatan damai yang baru, melainkan untuk melaksanakan kesepakatan Minsk. Dengan menjadi fasilitator kesepakatan Minsk, Jerman dan Perancis berharap bisa mengakhiri konflik di Eropa timur yang memperumit hubungan mereka dengan Rusia yang selama ini dianggap sebagai rekan dagang dan diplomasi yang kuat.
Para pemimpin dari empat negara ini sering bertemu sejak tahun 2014, yang dimulai dengan pertemuan di Normandy, Perancis. Pertemuan mereka kemudian melahirkan proses perdamaian dengan ”format Normandy”. Namun, tidak ada perkembangan berarti dan tidak ada lagi pertemuan sejak 2016.
Pada September lalu, Ukraina dan Rusia berhasil menyepakati pertukaran tahanan dan sepakat menarik pasukan dari dua lokasi di Ukraina timur. Ini merupakan upaya awal memulai pertemuan di Paris.
Bagian dari kesepakatan itu pula, Rusia bersedia mengembalikan tiga kapal milik Angkatan Laut Ukraina yang ditangkap saat terjadi insiden di Laut Hitam, tahun lalu. (REUTERS/AFP/AP)