Persepsi masyarakat Indonesia memahami korupsi sebagai sesuatu yang sangat kompleks. Sikap dan pandangan yang permisif terhadap perilaku korupsi menjadi musuh terbesar pemberantasan korupsi.
Oleh
Tim Kompas
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sikap dan pandangan yang permisif terhadap perilaku korupsi menjadi musuh terbesar pemberantasan korupsi, di samping persoalan sistem dan karakter penyelenggara negara. Kondisi ini mesti dilawan melalui pendidikan antikorupsi sejak dini.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 4-5 Desember 2019 terhadap 512 responden di 17 kota besar menunjukkan, masyarakat memahami korupsi sebagai sesuatu yang sangat kompleks. Berkaca dari konteks korupsi kepala daerah, karakter korup dan serakah berada di peringkat pertama sebagai faktor penyebab korupsi (92,4 persen).
Terkait upaya pemberantasan korupsi, Presiden Joko Widodo saat menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) di SMK Negeri 57 Jakarta, Senin (9/12/2019), menekankan, kesadaran antikorupsi harus diberikan sejak dini. Selain bisa menjangkau sekitar 50 juta pelajar, penanaman kesadaran antikorupsi di sekolah bisa menyasar guru yang berjumlah sekitar 3,5 juta orang.
Korupsi yang mengakar saat ini merupakan dampak dari minimnya pendidikan antikorupsi sejak dini.
”Korupsi itu tidak boleh dilakukan oleh siapa pun. Jadi, penekanan itu yang ingin kita berikan,” kata Presiden. Presiden juga menuturkan, penindakan terhadap kasus korupsi perlu terus dilakukan. Namun, langkah itu harus menjadi bagian dari strategi besar pemberantasan korupsi di Indonesia yang efektif.
Untuk itu, Presiden mengidentifikasi empat area yang harus dievaluasi, yakni sistem untuk menutup celah korupsi, perekrutan politik, fokus pemberantasan korupsi, dan penindakan yang terintegrasi dengan perbaikan sistem.
Sementara itu, Ketua Program Studi Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Herry Priyono mengatakan, persoalan korupsi yang mengakar saat ini merupakan dampak dari minimnya pendidikan antikorupsi sejak dini. Selama ini, upaya pemberantasan korupsi lebih banyak fokus pada aspek penegakan hukum, tidak melibatkan para pendidik untuk pencegahan.
”Seluruh perdebatan soal perubahan sistem itu sebatas jargon besar. Karena jika undang-undang dan sistem birokrasi dibenahi, tetapi kualitas para politisi dan warga tidak digarap, tidak akan ke mana-mana,” ujar penulis buku Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi itu.
Pendidikan antikorupsi yang dimaksud bukan hanya dalam bentuk pelajaran yang dimasukkan ke dalam kurikulum, melainkan etos antikorupsi yang disuntikkan dalam proses keseharian belajar-mengajar, bahkan sejak taman kanak-kanak. Edukasi ini memerlukan proses dan waktu panjang, serta harus dilakukan beriringan dengan perubahan sistem. Perubahan sistem itu ialah mentransformasi birokrasi pemerintahan dari politis dan partisan menjadi berbasis kompetensi dan profesionalitas.
Seluruh perdebatan soal perubahan sistem itu sebatas jargon besar.
Pendidikan antikorupsi sejak dini dibutuhkan karena, menurut pengajar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan, persoalan paling mendasar di tengah kompleksitas korupsi adalah banalitas korupsi itu sendiri.
Ketika korupsi tidak lagi dilihat sebagai kejahatan luar biasa, tetapi sebagai hal yang wajar, sistem yang dibangun ikut lemah. Pejabat tidak lagi berpikir panjang sebelum korupsi. Penegakan hukum pun melemah karena korupsi tak lagi dilihat sebagai kejahatan luar biasa.
Tidak hadir di KPK
Kemarin, Presiden Jokowi tidak menghadiri peringatan Hakordia di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Presiden mengutus Wakil Presiden Ma’ruf Amin. ”Setiap tahun saya hadir. Hanya ini, kan, Pak Ma’ruf belum pernah ke sana, ya, bagi-bagi. Masa setiap tahun saya terus? Ini Pak Ma’ruf belum pernah ke sana, silakan Pak Ma’ruf. Saya di tempat lain,” ujar Presiden tentang ketidakhadirannya.
Dalam sambutannya, Wapres mengatakan, perbaikan regulasi dan tata kelola kelembagaan terus dilakukan. Kebijakan ini diimbangi dengan pengawasan yang melibatkan partisipasi publik melalui keterbukaan informasi. Ketua KPK Agus Rahardjo menuturkan, penindakan ataupun pencegahan korupsi belum selesai dilakukan. Untuk itu, pemberantasan korupsi harus dilanjutkan, termasuk untuk terus menaikkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
Sementara itu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyatakan, pencegahan perlu dikedepankan, tetapi tidak cukup hanya dari penegak hukum. Semua elemen dan instansi harus memperkuat pencegahan dan tidak menjadikannya sebagai formalitas saja. Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis menegaskan, Polri terus memperkuat sinergi dengan lembaga penegak hukum, seperti KPK dan Kejagung, untuk memberantas korupsi.
Komitmen Polri dalam mengatasi korupsi ditunjukkan dengan sistem pengawasan dan pencegahan di Bareskrim Polri hingga semua satuan kewilayahan, termasuk dengan menunjuk penyidik terbaik di bidang tindak pidana korupsi untuk ditugaskan ke KPK. (AGE/INA/SAN/INK/REK/LAS/INK)