Untuk Indonesia, Bank Pembangunan Asia mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen pada tahun ini dan 5,2 persen pada 2020.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Pembangunan Asia atau ADB menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi di Asia. Hal itu karena pertumbuhan ekspor dan investasi di sejumlah negara di kawasan itu, terutama China dan India, turun.
Dalam kurun sekitar dua bulan, ADB mengoreksi pertumbuhan ekonomi Asia menjadi 5,2 persen pada 2019 dan 2020. Sebelumnya, dalam laporan Tinjauan Pertumbuhan Asia pada September 2019, ADB memperkirakan ekonomi Asia tumbuh 5,4 persen pada 2019 dan 5,5 persen pada 2020.
Faktor internal, seperti perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China yang masih berlanjut menjadi penyebab utama. Selain itu, terjadi dinamika dalam negeri di sejumlah negara di Asia, terutama India dan Hong Kong.
Untuk Indonesia, ADB mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen pada tahun ini dan 5,2 persen pada 2020. Berbagai upaya telah dilakukan Indonesia untuk menahan ekonomi tidak semakin melambat melalui perpaduan kebijakan moneter, makroprudensial, fiskal, dan penguatan sejumlah sektor riil penopang ekonomi.
Kepala Ekonom ADB Yasuki Sawada, Rabu (11/12/2019), mengatakan, pertumbuhan ekonomi di Asia masih terbilang solid. Namun, ketegangan perdagangan yang terus berlangsung menyulitkan kawasan ini dan masih menjadi risiko terbesar terhadap proyeksi ekonomi dalam jangka yang lebih panjang.
”Investasi domestik juga melemah di banyak negara seiring menurunnya sentimen bisnis. Di sisi lain, inflasi bergerak naik akibat harga pangan yang lebih tinggi, apalagi demam babi afrika (african swine fever) telah menjadikan harga babi naik drastis,” ujarnya dalam keterangan pers.
Inflasi, lanjut Yasuki, diperkirakan akan sebesar 2,8 persen pada 2019 dan 3,1 persen pada 2020. Proyeksi itu naik dari proyeksi September lalu yang inflasinya diperkirakan 2,7 persen pada tahun ini dan tahun depan.
Inflasi bergerak naik akibat harga pangan yang lebih tinggi, apalagi demam babi afrika (african swine fever) telah menjadikan harga babi naik drastis.
ADB memperkirakan, ekonomi China pada tahun ini dan tahun depan masing-masing tumbuh 6,1 persen dan 5,8 persen. September lalu, ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi China sebesar 6,2 persen pada 2019 dan 6,0 persen pada 2020.
Ketegangan perdagangan dengan AS dan perlambatan ekonomi global menjadi faktor utama turunnya pertumbuhan ekonomi China.
Selain faktor itu, perlambatan ekonomi di China disebabkan melemahnya permintaan domestik, terutama belanja rumah tangga. Belanja rumah tangga mulai melemah akibat harga daging babi yang sudah berlipat ganda dibandingkan dengan harga setahun lalu.
ADB juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Hong Kong dan India makin melambat. Perlambatan itu tak hanya akibat dampak perlambatan ekonomi global, tetapi juga lantaran faktor dinamika dalam negeri.
ADB menyebut Hong Kong secara teknis sudah mengalami resesi. Hong Kong akan mengalami tekanan berat yang kemungkinan akan terus berlanjut sampai 2020. Perekonomiannya kini diperkirakan akan terkontraksi 1,2 persen pada tahun ini dan hanya tumbuh 0,3 persen pada tahun depan.
Kompas mencatat, di Hong Kong, unjuk rasa telah menginjak bulan keenam. Unjuk rasa itu terjadi karena ketidakpuasan warga atas langkah Pemerintah Hong Kong membuat Rancangan Undang-Undang Ekstradisi.
RUU Ekstradisi dikecam karena memungkinkan pelanggar hukum diekstradisi ke China daratan sehingga dinilai memperbesar pengaruh Beijing. Unjuk rasa berlanjut hingga kini meski pemerintah telah mencabut prakarsa itu.
Sementara India ekonominya diperkirakan hanya akan naik 5,1 persen pada 2019. Hal itu seiring dengan tumbangnya sebuah perusahaan besar di bidang pembiayaan nonbank pada 2018 yang menimbulkan penghindaran risiko di sektor keuangan dan kredit yang semakin ketat.
Bank sentral India, Reserve Bank of India (RBI), menyebutkan, korporasi dan bank sedang menjalani siklus penyesuaian neraca untuk membersihkan utang dari buku mereka. Krisis yang sedang berlangsung di sektor pembiayaan nonbank semakin menambah beban likuiditas keuangan di India. Sektor itu mengalami persoalan kredit macet yang lebih buruk.
Selain itu, konsumsi di India terdampak oleh lambatnya pertumbuhan lapangan kerja dan buruknya panen yang sangat memberatkan masyarakat perdesaan. Sebelumnya, ADB memperkirakan pertumbuhan PDB India sebesar 6,5 persen pada 2019 dan 7,2 persen pada 2020.
Pasar telah meminta RBI menurunkan suku bunga acuan untuk mengantisipasi pelambatan ekonomi. Namun, RBI tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 5,15 persen, terendah dalam sembilan tahun terakhir.
Sejak Februari 2019, RBI telah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 5 kali. RBI juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi India dari 6,1 persen menjadi 5 persen.
Indonesia terus berupaya mengantisipasi ketidakpastian perekonomian global yang diperkirakan masih akan berlanjut dalam beberapa tahun ke depan. Instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan digunakan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi sehingga defisit anggaran akan semakin lebar.
Selasa lalu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, defisit APBN 2020 telah ditetapkan sebesar 1,76 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, defisit tersebut berpotensi melebar untuk menjaga stabilitas perekonomian negara.
”Target defisit APBN tahun depan telah ditentukan. Akan tetapi, kalau perekonomian lagi kalang kabut dan dampaknya ke perekonomian Indonesia masih berat, opsi pelebaran defisit masih akan kita ambil,” ujarnya.