Pemberdayaan nelayan diyakini dapat melestarikan mangrove di pesisir pantai. Tanpa itu, bibit mangrove yang telah ditanam bakal rusak, bahkan mati, dibabat masyarakat setempat.
Oleh
abdullah fikri ashri
·3 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS — Pemberdayaan nelayan diyakini dapat melestarikan mangrove di pesisir pantai. Tanpa itu, bibit mangrove yang telah ditanam bakal rusak, bahkan mati, dibabat masyarakat setempat.
Upaya pemberdayaan tersebut, antara lain, dilakukan PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region (MOR) III di Desa Singaraja, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Melalui program tanggung jawab sosial perusahaan, yakni Integrated Terminal Balongan, nelayan mendapatkan bantuan 3,5 ton bibit rumput laut dan 3.500 bibit bandeng.
Secara simbolis, pihak Pertamina MOR III menyerahkan bantuan itu kepada Kadira, Ketua Kelompok Tani Nelayan Langgeng Jaya, dan Kuwu (Kepala Desa) Singaraja Suaebah, Rabu (11/12/2019). Sebanyak 5.000 bibit mangrove dan 3.000 bibit pohon cemara bakal ditanam di daerah pesisir.
Kadira mengatakan, pemberdayaan tersebut dapat memotivasi nelayan untuk menjaga mangrove yang ada di sekitar tambak. ”Selama ini, kami tanam mangrove, tetapi ditebang masyarakat untuk dijadikan tambak,” katanya.
Kondisi itu tampak pada hamparan tambak yang menjorok hingga pinggir pantai. Letak pohon mangrove setinggi hingga 2 meter juga berjarak karena dijadikan tempat aliran air tambah dan jalan setapak. Sampah juga bertebaran di sekitar tambak.
Menurut dia, ini pertama kalinya nelayan membudidayakan rumput laut. Selama ini, nelayan mengandalkan ikan bandeng dan udang vaname. Namun, karena pengaruh cuaca, udang tersebut umumnya mati. Tambak nelayan pun dibiarkan menganggur.
”Budidaya rumput laut ini akan menambah penghasilan kami. Penghasilan dari melaut hanya Rp 50.000-Rp 100.000. Itu pun tidak setiap hari. Soal pasar rumput laut, sudah ada bakul yang menampung, berapa pun banyaknya,” ujarnya.
Budidaya rumput laut ini akan menambah penghasilan kami. Penghasilan dari melaut hanya Rp 50.000-Rp 100.000. Itu pun tidak setiap hari. Soal pasar rumput laut, sudah ada bakul yang menampung, berapa pun banyaknya.
Dia mencontohkan, dengan 3,5 ton bibit rumput laut di areal 1,5 hektar, diharapkan panen dalam 1,5 bulan berupa 3,5 ton rumput laut kering. Dengan harga Rp 4.500 per kilogram, nelayan mampu meraup omzet lebih dari Rp 15,7 juta. Jumlah itu jauh lebih banyak dibandingkan hasil ikan bandeng, sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Rumput laut itu juga dapat mengundang plankton pakan ikan bandeng.
”Kehadiran mangrove sangat penting melindungi tambak dari abrasi. Selain itu, kepiting juga sudah banyak karena berlindung di akar mangrove. Kalau dijual Rp 50.000 per kg,” katanya. Oleh karena itu, Kadira berharap program pemberdayaan akan menyadarkan nelayan mengenai pentingnya fungsi mangrove.
Suaebah mengatakan, saat ini areal tambak mencapai 400 hektar. Produksi udang vaname yang diekspor sekitar 80 ton per tahun. ”Namun, tambak ini terancam abrasi. Kami belum menghitung berapa tanah yang hilang,” katanya.
Dia berharap program pemberdayaan nelayan untuk melestarikan mangrove terus berlanjut dan meluas. Saat ini, program itu menjangkau sekitar 20 dari sekitar 500 nelayan di Singaraja.
”Kami juga akan memikirkan peraturan desa agar masyarakat tidak menebang mangrove,” katanya.
Unit Manager Communication Relations dan CSR Pertamina MOR III Dewi Sri Utami mengatakan, upaya pemberdayaan itu diharapkan meningkatkan pemahaman masyarakat setempat terkait pentingnya ekosistem mangrove pesisir.
”Ini untuk kelestarian mangrove. Tahun lalu, kami telah menanam 30.000 bibit mangrove,” katanya. Sebelumnya, Pertamina RU VI Balongan juga mengembangkan kawasan mangrove di Karangsong, Indramayu. Nelayan pun diberdayakan sebagai pemandu wisata hingga menjadi pembudidaya kepiting.