Direktur Perusahaan Selewengkan Pajak untuk Bisnis Pribadi
›
Direktur Perusahaan...
Iklan
Direktur Perusahaan Selewengkan Pajak untuk Bisnis Pribadi
Direktur sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, MNA (48), disangkakan mengemplang pajak pertambahan nilai sebesar Rp 391 juta.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO,KOMPAS — Direktur sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, MNA (48), disangkakan mengemplang Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 391 juta. Pelaku mengeluarkan faktur pajak dan memungut Pajak Pertambahan Nilai dari rekanan perusahaan, tetapi tidak menyetorkan uang yang diterimanya itu kepada negara.
Uang hasil penerimaan pajak itu justru digunakan untuk mengembangkan bisnis pribadinya. Akibat perbuatannya itu, negara mengalami kerugian sebesar Rp 391 juta yang bersumber dari penerimaan pajak. Kasus ini pun menambah panjang pidana dibidang perpajakan yang terjadi di wilayah Jatim.
”Selama 2019, tercatat empat kasus kejahatan kerah putih yang ditangani Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jatim II. Dari empat kasus pidana pajak itu, dua kasus berkas perkaranya sudah dilimpahkan ke kejaksaan negeri, sedangkan dua kasus lainnya masih proses melengkapi berkas perkara,” ujar Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II Lusiani.
Total kerugian negara dari dua kasus yang diserahkan ke kejaksaan mencapai lebih dari Rp 3,3 miliar. Nilai kerugian negara diprediksi akan bertambah sebab dua kasus yang masih dalam proses pemeriksaan belum dihitung potensi nilai pajak yang hilang atau tak dibayarkan.
Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan Kanwil DJP Jatim II Sidoarjo Irawan menambahkan, MNA merupakan Direktur PT PLA. Perusahaan ini menjalin rekanan dengan sebuah perusahaan migas di Jakarta. Perusahaan migas itu telah membayar biaya jasa konstruksi sesuai dengan nilai kontrak ditambah 10 persennya untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 2016.
Uang pembayaran telah diterima oleh MNA melalui rekening pribadinya. Perusahaan tersangka, yakni PT PLA, juga telah mengeluarkan faktur pajak untuk perusahaan rekanan. Namun, uang pajak sebesar Rp 391 juta itu tidak disetorkan ke negara dan tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak tersangka selaku pengusaha kena pajak.
Pemeriksa Pajak Madya Kanwil DJP Jatim II Susanto mengatakan, pengungkapan kasus pidana pajak dengan tersangka MNA berawal dari pengamatan atau analisis data transaksi faktur pajak. Saat awal ditemukan indikasi pelanggaran pajak, pihaknya melakukan upaya persuasif terhadap tersangka.
Tersangka diminta memperbaiki data SPT pajaknya dan mengungkap sendiri tindak pidana yang dilakukan. Namun, sampai dengan batas waktu yang ditentukan, tersangka tidak melakukan perbaikan sesuai ketentuan. Penyidik pun akhirnya turun tangan dengan mengumpulkan data-data sebagai bagian dari alat bukti.
Kami mengejar target penerimaan pajak bukan pidananya.
”Setelah terkumpul bukti permulaan, penyidik baru memulai proses penyidikan. Tepatnya pada awal 2018 lalu. Butuh waktu lama untuk mengumpulkan alat bukti dalam kasus pidana pajak,” kata Susanto.
Selama proses penyidikan berjalan, tersangka masih diberi kesempatan untuk memperbaiki SPT pajaknya dan memenuhi kewajibannya menyetorkan uang pajak yang dipungut kepada negara. Dengan ketentuan, tersangka bersedia membayar denda berupa empat kali nilai pajak terutang.
Namun, hingga berkas penyidikan dinyatakan sempurna dan berkas tersebut berikut tersangka diserahkan ke penyidik Kejaksaan Negeri Bojonegoro, MNA tetap tidak memperbaiki laporan pajaknya. Upaya hukum akan ditempuh melalui Pengadilan Negeri Bojonegoro.
”Sebenarnya Kanwil DJP Jatim II menghendaki upaya persuasif dan berharap tersangka membayar pajak yang terutang plus dendanya. Alasannya, kami mengejar target penerimaan pajak bukan pidananya,” ujar Lusiani.
Perbuatan MNA melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 16 Tahun 2009. Pada Pasal 39 Ayat (1) huruf (c) dan atau huruf (i) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Tersangka diancam pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak empat kali jumlah pajak terutang.
Menambah daftar pidana
Sebelumnya, Kanwil DJP Jatim II dan Kepolisian Daerah Jawa Timur, Kamis (5/12/2019), menyerahkan seorang makelar pajak bernama PS (61) kepada Kejaksaan Negeri Sidoarjo. Pelaku disangka melakukan tindak pidana di bidang perpajakan sehingga merugikan negara lebih dari Rp 3 miliar.
PS diduga kuat menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau nomor pengukuhan pengusaha kena pajak (NPPKP). PS diduga kuat membantu HW, terpidana pengemplang pajak yang divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo. Dia menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan dengan transaksi yang sebenarnya.
Perbuatan PS tersebut dilakukan dalam rentang waktu 2011 sampai dengan 2013. Akibatnya, negara mengalami kerugian pada pendapatan negara dari sektor perpajakan sekurang-kurangnya sebesar nilai PPN dalam faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dijual atau diedarkan kepada perusahaan-perusahaan pengguna. Nilainya diperkirakan Rp 3,044 miliar.