Hendro Yap, Pertarungan Hidup Si Raja Jalan Cepat Asia Tenggara
Sejak SEA Games 2011 hingga 2019, Hendro Yap (29) selalu menjadi andalan Indonesia di nomor jalan cepat. Ia sukses mendulang empat emas dan satu perak.
Di balik kesuksesannya, Hendro menjalani hidup yang penuh rintangan. Hendro merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan suami istri, Yap Soen Peng (ayah) dan Melati (ibu). Ia dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 24 Oktober 1990 dengan nama lahir Yap Kim Lung. Sebagai warga keturunan China, dirinya turut mengalami perlakuan diskriminatif dari orang-orang yang tinggal di sekitar lingkungan rumahnya. Akibatnya, Hendro dan keluarganya tertekan dan minder.
Atas dasar itu pula, Yap Soen Peng dan Melati mengubah nama Yap Kim Lung menjadi Hendro Yap sejak ia berusia empat tahun. ”Kalau tidak berganti nama, saya tidak boleh sekolah. Jadi, nama saya pun diganti,” ujar Hendro usai merebut emas jalan cepat 20 kilometer SEA Games 2019 di kawasan Clark, Filipina, Senin (9/12/2019).
Berganti nama ternyata tidak menghentikan perlakuan diskriminatif terhadap Hendro. Ketika ia pindah sekolah dari SD, SMP, hingga SMA di Bogor, Jawa Barat, ia masih mendengar suara-suara tak sedap mengenai dirinya yang warga keturunan itu. ”Padahal, orangtua saya maupun saya sudah lahir dan besar di Indonesia. Tetapi, masih saja ada oknum-oknum yang tidak menganggap itu. Kami tetap dianggap berbeda,” kata atlet bertinggi 175 sentimeter tersebut.
Kalau bisa mengibarkan bendera Merah-Putih di pentas internasional, mata semua orang akan melihat ke saya bahwa saya adalah orang Indonesia
Namun, Hendro bukan sosok yang mudah menyerah dan berkecil hati. Ia juga bukan sosok yang membalas perlakuan kasar dengan cara kasar pula. Dia berpikir cerdas untuk membungkam semua prasangka buruk itu. Cara yang dipilihnya, yakni lewat jalur olahraga. Menurutnya, olahraga adalah cara terbaik untuk mendapatkan pengakuan diri. Sebab, dengan prestasi, orang-orang akan mengakui keberadaannya dan menghapus setiap stigma negatif.
”Kalau bisa mengibarkan bendera Merah-Putih di pentas internasional, mata semua orang akan melihat ke saya bahwa saya adalah orang Indonesia. Mereka pun tidak akan memandang apa etnis, suku, ataupun agama saya. Yang mereka lihat hanya saya sebagai anak Indonesia yang mampu mengharumkan nama negara ini di pentas dunia,” tuturnya.
Petarung
Ketika memulai karier sebagai atlet jalan cepat pada 2009 atau sepuluh tahun yang lalu, Hendro melakukannya tidak setengah-setengah. Ia berjuang keras agar bisa menembus pelatnas. Bahkan, dia berjuang melampaui batas kemampuannya hingga mendapatkan cedera parah di lutut kanannya.
Hal itu terjadi ketika Hendro berlatih untuk persiapan seleksi pelatnas menuju SEA Games 2009 Laos. Ketika latihan di Yogyakarta, ia berlatih sehari tiga hari. Gawatnya, dia belum terlalu paham cara pemulihan tubuh pasca latihan. Dirinya cenderung sporadis dalam berlatih. Puncaknya, dalam kondisi masih belum pulih, Hendro yang sedang berlatih terjatuh ke lubang di lintasan turunan.
Insiden itu membuat lutut kanannya mengalami cedera parah. Cedera itu begitu parah hingga lututnya mati rasa dan membengkak hebat beberapa hari kemudian. Ketika diperiksa, dokter bilang dia harus menjalani operasi tetapi hasilnya tidak akan pulih 100 persen seperti sedia kala. Bahkan, pasca operasi, peluangnya untuk berlatih seperti semula hanya 20 persen.
Lagi-lagi, Hendro menunjukkan sebagai pribadi yang tidak mudah menyerah. Ia justru memutuskan tidak operasi dan hanya melakukan rawat jalan lewat sejumlah terapi. ”Itu juga untuk menjaga cita-cita saya menjadi atlet nasional, mengharumkan nama negara di pentas internasional, dan tentunya mendapatkan pengakuan atas keberadaannya sebagai Warga Negara Indonesia sejati,” ujarnya.
Belakangan ketika masuk pelatnas 2010, tim medis memeriksa cedera lutut Hendro. Ternyata, cederanya semakin parah dan ligamen terkuat pada lututnya atau posterior cruciate ligament (PCL) sudah putus total. Bahkan, sekarang, lutut kanannya itu bisa digeser ke depan dan belakang.
Sakit itu tidak untuk diratapi. Nikmati saja semuanya. Rasa sakit itu justru tanda bahwa level kemampuan saya mau meningkat
Hendro pun tidak memiliki lagi kekuatan tumpuan di lutut kanan. Semua tumpuannya itu dipindahkan ke kaki kiri. Belakangan, lutut kanannya itu pun sudah mengalami pengapuran. ”Tapi, sakit itu tidak untuk diratapi. Nikmati saja semuanya. Belakangan, rasa sakit itu justru menjadi penanda. Ketika merasa sakit, itu justru menjadi tanda bahwa level kemampuan saya mau meningkat,” ujarnya sambil tertawa.
Cacar air
Hendro benar-benar sosok yang tidak mau hidup di zona nyaman. Ketika sudah masuk pelatnas, ia pun tetap menunjukkan semangat juang tinggi untuk selalu meraih prestasi terbaik. Hal itu terlihat jelas ketika dirinya tampil pada SEA Games 2011 Indonesia yang merupakan SEA Games pertama dalam karirnya.
Sepuluh hari jelang SEA Games 2011, Hendro mengalami sakit cacar air. Dokter bilang butuh waktu sebulan untuk pemulihan. Namun, demi mengiktui SEA Games pertamanya, ia menghabiskan jatah obat satu bulan dalam waktu empat hari. Nyatanya, dia tetap tidak pulih 100 persen.
Kendati demikian, walaupun masih mengalami cacar air dengan gejala panas tinggi dan sekujur tubuh gatal-gatal, Hendro tetap ikut perlombaan jalan cepat 20 kilometer SEA Games 2011. Hasilnya cukup luar biasa untuk atlet yang berlomba dalam kondisi sakit, yakni dirinya berhasil meraih perak dengan waktu 1 jam 33 menit 23 detik.
Bukan sekali itu Hendro berjuang di tengah mengalami sakit. Pada final jalan cepat 20 kilometer SEA Games 2019 Filipina yang berlangsung di jalanan kawasan Clark, ia pun mengalami demam sebelum perlombaan. Sakit dirasakannya karena kualitas makanan yang kurang mendukung di Wisma Atlet New Clark City.
Sebagian makanan adalah makanan berminyak dan minuman rata-rata jus dingin. Kualitas makanan seperti itu membuatnya terserang demam pagi ketika akan berlomba. Namun, kembali, Hendro keluar dari zona nyaman. Ia tetap berjuang walaupun langkah kakinya seperti tak terasa selama perlombaan.
Hasilnya kembali luar biasa, yakni Hendro meraih emas dengan waktu 1 jam 31 menit 20 detik. Peraih perak adalah atlet Vietnam Vo Xuan Vinh dengan waktu 1 jam 31 menit 38 detik, dan peraih perunggu alet Myanmar Nyi Nyi Moe Moe dengan waktu 1 jam 33 menit 25 detik.
Saya berlomba dengan rasa yang sangat tidak nyaman karena demam membuat badan saya sempoyongan dan kaki saya gontai, seperti tidak menapak bumi
”Walau emas, ini sebenarnya lomba paling hancur-hancuran dalam karier saya. Saya berlomba dengan rasa yang sangat tidak nyaman karena demam membuat badan saya sempoyongan dan kaki saya gontai, seperti tidak menapak bumi. Belum lagi tempat perlombaan sangat buruk, yakni di jalanan cor beton. Akibatnya, catatan waktu saya jauh di bawah catatan terbaik saya,” kata atlet yang berstatus sebagai CPNS Kementerian Pemuda dan Olahraga itu.
Walau menghadapi semua hambatan hidup secara teknis maupun non teknis, Hendro tetap menjelma sebagai atlet jalan terbaik Indonesia sampai saat ini. Buktinya, ia telah meraih empat emas dan satu perak di perlombaan jalan cepat 20 kilometer dari SEA Games 2011 hingga 2019.
Hendro tercatat sebagai pemegang rekor jalan cepat SEA Games untuk lintasan track, yakni dengan waktu 1 jam 32 menit 11,27 detik ketika meraih emas SEA Games 2017. Ia memecahkan rekor SEA Games yang sebelumnya dipegang oleh atlet Malaysia Harbans Singh Narinde dengan waktu 1 jam 33 menit 47 detik ketika meraih emas SEA Games 1997 Jakarta.
Hendro pun memegang rekor jalan cepat Asia Tenggara untuk lintasan jalanan, yakni dengan waktu 1 jam 27 menit 29 detik ketika meraih peringkat kelima Kejuaraan Asia Atletik 2019 di Jepang. Ia memecahkan rekor Asia Tenggara yang sebelumnya dipegang oleh atlet Malaysia Harbans Singh Narinde dengan waktu 1 jam 29 menit 13 detik ketika meraih emas SEA Games 1997.
”Semua itu bisa saya capai karena saya tidak mau menyerah dengan keadaan. Saya tidak mau hidup dalam zona nyaman. Saya percaya betul bahwa manusia diciptakan itu untuk melampaui semua batas kemampuannya,” tutur Hendro yang merupakan peraih gelar Master of Business Administration (MBA) di jurusan Sports Management, Universidad Catolica Antonio de Murcia, Spanyol tersebut.
Belum puas
Hendro memang nyaris sudah mendapatkan semua yang diinginkannya. Rentetan prestasi yang didapatnya membuat ia mendapatkan pengakuan lebih atas statusnya sebagai Warga Negara Indonesia sejati. Sekarang, nyaris tidak ada lagi suara sumbang mengenai etnisnya. Bahkan, keluarganya yang sempat kurang dianggap dan dipandang oleh keluarga besar sudah mendapatkan tempat yang layak di lingkungan keluarga besar.
Akan tetapi, Hendro ternyata belum puas. Sebab, ia melihat, masih banyak orang-orang yang mendapatkan perlakuan diskriminatif karena etnis, suku, maupun agamanya. Hal itu tidak hanya dialami oleh orang-orang keturunan China melainkan oleh etnis-etnis lain yang ada di Indonesia.
Sekarang, misi Hendro adalah turut membantu kelompok-kelompok minoritas itu mendapatkan pengakuan lebih. Bahkan, ia ingin anggapan rasis itu hilang sepenuhnya dari Indonesia yang punya motto Bhinneka Tunggal Ika itu, yakni berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
”Untuk saat ini, saya memang tidak terjun langsung dalam kegiatan sosial untuk membantu kelompok-kelompok minoritas tersebut. Namun, saya membuka diri untuk membantu setiap orang seperti itu yang butuh pertolongan. Beberapa orang berkomunikasi langsung dengan saya untuk minta motivasi, saya pun menceritakan jalan hidup saya dan meminta mereka tidak gampang menyerah,” pungkas Hendro.
Hendro Yap
Lahir: Medan, Sumatera Utara, 24 Oktober 1990
Prestasi:
- Medali perak jalan cepat 20 kilometer SEA Games 2011 Indonesia
- Medali emas jalan cepat 20 kilometer SEA Games 2013 Myanmar
- Medali emas jalan cepat 20 kilometer SEA Games 2015 Singapura
- Medali emas jalan cepat 20 kilometer SEA Games 2017 Malaysia
- Medali emas jalan cepat 20 kilometer SEA Games 2019 Filipina
Rekor:
- Jalan cepat untuk track SEA Games dengan waktu 1 jam 32 menit 11,27 detik
- Jalan cepat lintasan jalanan Asia Tenggara dengan waktu 1 jam 27 menit 29 detik