Serangan terhadap kebebasan pers adalah serangan terhadap kebebasan publik. Karena itu, pemerintah harus terus menunjukkan komitmennya dalam menegakkan kebebasan pers.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terciptanya kebebasan pers akan menjamin perlindungan dan pemeliharaan kebebasan publik. Karena itulah, serangan terhadap kebebasan pers adalah serangan terhadap kebebasan publik itu sendiri.
Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia, Owen Jenkins menyampaikan pernyataan tersebut dalam pembukaan Seminar Nasional “Hak Asasi Manusia, Kemerdekaan Pers, Perlindungan dan Keselamatan Jurnalis di Indonesia” dalam rangka peringatan Hari HAM Internasional di Erasmus Huis, Jakarta, Selasa (10/12/2019). Acara ini diselenggarakan secara kolaboratif oleh MediaLink, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Serikat Jurnalis untuk Kebebasan, Lembaga Pers Dr Soetomo, dan Tempo Institute dengan dukungan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Kedutaan Besar Kerajaan Inggris Raya, dan International Media Support.
“Kebebasan pers menuntut pemerintah untuk bertanggungjawab dan bekerja; kebebasan pers membantu mengatasi korupsi dan mempertahankan standar etika yang kuat; dan kebebasan pers membantu kebebasan publik terlindungi serta terpelihara,” kata Owen.
Karena itulah, menurut Owen, setiap serangan terhadap kebebasan pers adalah serangan terhadap kebebasan (publik) pada umumnya. “Pers yang bebas bisa (berdampak) baik atau buruk. Tapi, tanpa kebebasan pers, maka situasi akan menjadi lebih buruk. Inggris memprioritaskan terjaminnya kebebasan pers dan kami juga berharap pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam menegakkan kebebasan pers,” kata dia.
Setiap serangan terhadap kebebasan pers adalah serangan terhadap kebebasan (publik) pada umumnya.
Indonesia membuat kemajuan besar dalam konteks kebebasan pers pasca reformasi. Reputasi Indonesia di panggung dunia juga semakin kuat dengan posisi Indonesia di Dewan Keamanan PBB.
“Indonesia sekarang menjadi ikon demokrasi global. Kepedulian serta keterlibatan aktif pemerintah Indonesia dalam menjamin kebebasan pers sangat diperlukan untuk mempertahankan reputasi ini,” tambahnya.
Sama seperti Inggris, Pemerintah Belanda juga memiliki perhatian khusus dalam menjamin kebebasan pers. Menurut Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia Lambert Grijns, Belanda sampai mengalokasikan dana sebesar 27 juta Euro untuk mendukung kebebasan pers di dunia.
Tak ada titik balik
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, dari sisi konstitusi dan undang-undang, Indonesia sebagai negara demokrasi tidak lagi memberi celah titik balik dalam konteks kebebasan pers dan HAM. “Kita harus maju ke depan mendukung kebebasan pers dan HAM. Kita harus memastikan bahwa kebebasan pers dan HAM ditegakkan,” paparnya.
Kita harus maju ke depan mendukung kebebasan pers dan HAM. Kita harus memastikan bahwa kebebasan pers dan HAM ditegakkan.
Johnny mengakui, dalam beberapa kasus seperti yang terjadi di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019, pemerintah melakukan manajemen situasi dengan mengurangi kecepatan akses (dan bahkan pemadaman) internet. Menurutnya, langkah ini merupakan upaya pengendalian sesaat guna memulihkan situasi.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum AJI Abdul Manan mengatakan, pemblokiran akses internet bisa jadi mempunyai tujuan baik. Namun, hal tersebut merampas hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
“Pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat sangat merugikan. Pertama karena kita menganggap tindakan memblokir internet ini dilakukan dengan kebijakan yang tidak pantas, yaitu hanya dengan mengeluarkan siaran pers. Ini benar-benar langkah yang tidak elok dan tak terukur untuk sebuah kebijakan yang berdampak sangat besar kepada kehidupan publik. Pemerintah mesti mempertanggungjawabkan tindakannya merampas hak publik untuk mendapatkan informasi,” kata Manan.
Menyikapi pemblokiran akses layanan data telekomunikasi di Papua dan Papua Barat bulan Agustus lalu, Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari AJI dan SAFEnet mengajukan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo akhir November 2019 lalu. Mereka didampingi beberapa kuasa hukum, meliputi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Dengan pemblokiran tersebut, pemerintah telah mengambil hak masyarakat untuk mengetahui informasi. Jika memang kebijakan pemutusan internet terpaksa harus diambil, maka pemerintah semestinya menyiapkan dasar hukum yang benar-benar kuat, bukan sekedar siaran pers.
Dengan pemblokiran tersebut, pemerintah telah mengambil hak masyarakat untuk mengetahui informasi.
Menurut Manan pemblokiran bukan tidak boleh dilakukan. Hanya saja, Tim Pembela Kebebasan Pers ingin memastikan bahwa pemblokiran itu dilakukan dengan cara yang cukup akuntabel misalnya dengan mempersiapkan argumentasi yang cukup kuat atau melalui pengadilan. “Gugatan ini akan menjadi preseden baik bagi pihak-pihak yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah,” tambahnya.
Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam proses dismissal atau pengecekan kewenangan pengadilan, Senin (2/12/2019) menyatakan hakim bisa menyidangkan perkara gugatan Tim Pembela Kebebaran Pers karena perkara tersebut masuk dalam kewenangan PTUN. Proses dismissal ini menggunakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) baru Nomor 2 tahun 2019. Ini adalah gugatan pertama yang menggunakan Perma Nomor 2 tahun 2019 sejak peraturan ini terbit.