Sebagian masyarakat Indonesia masih skeptis terhadap kemauan dan kemampuan pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Banyak yang tidak yakin pemerintah akan mampu mengungkapnya.
Oleh
TIM KOMPAS
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Peringatan Hari Hak Asasi Manusia diwarnai sikap skeptis publik terhadap kemauan dan kemampuan pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Rencana pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan membuat Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR disikapi kritis kelompok masyarakat sipil.
Skeptisisme publik itu tergambar dari jajak pendapat Litbang Kompas pada 4-5 Desember 2019 terhadap 512 responden di 17 kota besar di Indonesia. Sebanyak 61,1 persen responden menyatakan tidak yakin pemerintah akan mampu mengungkap tuntas pelanggaran HAM berat di masa lalu, seperti kerusuhan Mei serta peristiwa Semanggi I dan II.
Terkait penyelesaian kasus HAM berat masa lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD seusai memperingati Hari HAM Sedunia di Bandung, Selasa (10/12), mengatakan, pemerintah berencana mengusulkan rancangan UU KKR dalam Program Legislasi Nasional 2020. ”Rancangan UU telah kami siapkan. Dalam waktu dekat akan disahkan, mudah-mudahan tahun ini,” ujarnya.
UU sejenis sebelumnya pernah dibentuk, yakni UU Nomor 27 Tahun 2004, tetapi dibatalkan keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 006/PUU-IV/2006. Mahfud menuturkan, pelanggaran HAM masa lalu sulit diselesaikan karena pihak-pihak yang terlibat memiliki pendapat bertolak belakang. Perbedaan pilihan itu merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi.
Proses hukum
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, menilai, narasi KKR tidak tepat. Menurut dia, pengadilan masih jalan terbaik untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Yati Andriyani mengingatkan, penyelesaian melalui KKR tak hanya memaafkan tanpa melalui proses hukum di pengadilan. ”KKR memiliki tiga prinsip, yakni pengungkapan kebenaran dan pengakuan, memastikan keadilan bagi korban, dan pemulihan hak korban,” kata Yati.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, sebaiknya saat ini pemerintah melakukan pencarian fakta. Dengan demikian, proses ini tak terjebak pada yudisial atau nonyudisial. (REK/RTG/JAL/IAN/EDN)