Bekas Koruptor Harus Tunggu Lima Tahun agar Bisa Ikut Pilkada
›
Bekas Koruptor Harus Tunggu...
Iklan
Bekas Koruptor Harus Tunggu Lima Tahun agar Bisa Ikut Pilkada
Mahkamah Konstitusi memutuskan pembatasan hak bagi narapidana kasus korupsi. Bekas narapidana kasus korupsi harus menunggu lima tahun setelah keluar dari penjara untuk bisa ikut dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan terkait pembatasan hak bagi narapidana korupsi untuk maju sebagai calon kepala daerah. Para bekas terpidana korupsi ini harus menunggu jeda selama lima tahun setelah ia keluar dari penjara untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memimpin sidang pembacaan putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Berdasarkan hasil putusan tersebut, MK akhirnya mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang mengharuskan bekas napi korupsi menunggu selama lima tahun agar bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
”Menyatakan Pasal 7 Ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,” tuturnya ketika membaca amar putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu, (11/12/2019).
Usman menjelaskan, perlu ada perubahan bunyi dalam UU No 10/2016 Pasal 7 Ayat (2) huruf g untuk mencantumkan syarat agar napi korupsi yang ingin menjadi calon kepala daerah harus melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah bekas terpidana ini selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan. Bekas terpidana koruptor ini juga perlu mengumumkan latar belakang dan jati dirinya sebagai terpidana dan bukanlah seorang residivis.
Sementara itu, seusai pembacaan amar putusan, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz yang juga menjadi kuasa hukum pemohon menyambut baik putusan MK tersebut. Menurut dia, adanya pembatasan jeda selama lima tahun bisa mengurangi basis elektoral seseorang bekas narapidana koruptor.
”Misalkan, mantan narapidana koruptor baru keluar dari penjara pada 2020, ia tidak bisa mengikuti pilkada 2020 dan pilkada 2024 karena harus menunggu selama lima tahun. Proyeksi kami, basis elektoral mantan napi korupsi tersebut akan menurun drastis,” ucapnya.
Donal mengatakan, dengan adanya jeda selama lima tahun ini, para bekas narapidana korupsi ini kemungkinan besar akan kehilangan kekuatan di birokrasi yang selama ini disalahgunakan sebagai tim sukses untuk memenangi pilkada.
”Pastinya orang-orang yang ada di birokrasi sudah diganti orang-orang baru. Kami juga berharap KPU bisa segera merevisi PKPU yang ada dan memasukkan persyaratan tersebut,” katanya.
Berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan KPU, masa pendaftaran calon kepala daerah akan berlangsung pada 16-18 Juni 2020. Oleh sebab itu, KPU harus segera merevisi PKPU sebelum proses pendaftaran calon kepala daerah dimulai.
Donal mengatakan, MK Pernah mengeluarkan putusan serupa, yaitu Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009. MK pun sudah pernah mengeluarkan sejumlah putusan yang berbeda pada 2007, 2015, dan 2016 terkait pelarangan mantan narapidana korupsi untuk menjadi kepala daerah.
”Kami berharap MK tetap konsisten dengan putusannya yang ada saat ini meskipun nantinya ada pemohon lain yang mengajukan uji materi terhadap ketentuan ini. Semoga putusan saat ini bisa mengunci putusan yang telah ada sebelumnya,” tuturnya.
Donal sadar bahwa hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak bisa dicabut sepenuhnya. Oleh sebab itu, perlu ada pembatasan hak terkait hal ini agar bekas narapidana korupsi masih bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah, tetapi peluang untuk terpilihnya semakin kecil.
”Kami yakin MK akan menolak permohonan tersebut jika kami meminta untuk mencabut sepenuhnya hak koruptor untuk tidak bisa ikut pilkada karena hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Namun, dalam Pasal 28 J UUD 1945, hak seseorang bisa dibatasi,” katanya.