Moratorium pemekaran daerah otonom baru masih perlu dipertahankan karena mayoritas penambahan daerah otonomi baru juga bermasalah karena tidak benar-benar memenuhi kriteria sekaligus masih membebani keuangan negara.
Oleh
Ingki Rinaldi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Moratorium pemekaran daerah otonom baru masih perlu dipertahankan. Sebab, mayoritas penambahan daerah otonomi baru juga bermasalah karena tidak benar-benar memenuhi kriteria sekaligus membebani keuangan negara.
Pemerintah memberlakukan moratorium pengesahan daerah otonom baru pada 2015. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2018, ada 254 usulan daerah otonomi baru. Dari jumlah itu, 33 merupakan usulan pemerintah provinsi, 193 usulan pemerintah kabupaten, dan 28 usulan pemerintah kota (Kompas, 4/9/2018).
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, menuturkan, moratorium pemekaran daerah menjadi penting karena kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang kerap menimbulkan persepsi berbeda antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini di antaranya terjadi karena ada pemaknaan bahwa daerah lebih leluasa dengan kekuasaannya ketimbang kewajiban untuk mempertanggungjawabkan hal tersebut.
Siti Zuhro menyebutkan, sekitar 80 persen daerah otonom baru cenderung menuai masalah karena tidak memenuhi sejumlah kriteria, termasuk potensi ekonomi dan pendapatan asli daerah.
”Artinya, (pemekaran daerah) menguntungkan sekelompok elite, bukan rakyat”
”Artinya, (pemekaran daerah) menguntungkan sekelompok elite, bukan rakyat,” kata Siti dalam diskusi ”Refleksi Otda dan Otsus 2019” yang diadakan Institut Otonomi Daerah, Selasa (10/12/2019), di Jakarta.
Menurut Siti, pemekaran daerah cenderung membuat daerah induk rugi karena uang yang jumlahnya relatif tidak banyak masih harus dibagi. Selain itu, APBN juga cenderung terbebani. ”Saat ini yang penting difokuskan ialah jangan hanya pada isu pemekaran, tetapi juga penggabungan daerah. Namun, pada tingkat provinsi, penambahan masih mungkin dilakukan,” katanya.
Pemekaran Papua
Wacana pemekaran provinsi di Papua sempat kembali mencuat beberapa bulan terakhir. Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyebutkan, penyelesaian paling efektif bagi Papua ialah lewat peningkatan kesejahteraan dan ekonomi. Dalam rangka mengefektifkan hal itu, dilakukan desentralisasi pusat kekuasaan dan ekonomi.
”Saat ini yang penting difokuskan ialah jangan hanya pada isu pemekaran, tetapi juga penggabungan daerah. Namun, pada tingkat provinsi, penambahan masih mungkin dilakukan”
Ia menambahkan, idealnya Papua dibagi menjadi tujuh provinsi. Akan tetapi, berkaca dari pengalaman, pemekaran provinsi bukan hal mudah.
Pendiri Institut Otonomi Daerah yang juga Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menyigi sejumlah akar masalah di Papua dan Papua Barat dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi khusus.
Pertama, terkait integrasi Papua ke NKRI yang masih mengandung kontroversi. Kedua, pelanggaran HAM dan kekerasan oleh aparat keamanan terhadap orang asli Papua. Ketiga, marjinalisasi dan diskriminasi serta rasisme terhadap orang asli Papua.
Selain itu, pembangunan Papua juga kurang berhasil. Hal tersebut terutama terjadi di bidang pendidikan, kesehatan, dan penguatan ekonomi masyarakat.