Gerakan politik berbasis nilai-nilai Islam dinilai memiliki kompatibilitas dengan demokrasi yang dijalankan dua dekade terakhir di Indonesia. Hal itu karena Islam menjamin pemenuhan manifestasi kedaulatan rakyat.
Oleh
M Ikhsan Mahar
·3 menit baca
Nilai keislaman berkorelasi dengan demokrasi di Indonesia. Pemikiran almarhum Bahtiar Effendy terkait politik Islam perlu terus dikembangkan untuk mengatasi persoalan bangsa.
JAKARTA, KOMPAS - Gerakan politik berbasis nilai-nilai Islam dinilai memiliki kompatibilitas dengan demokrasi yang dijalankan selama dua dekade terakhir di Indonesia. Islam menjamin pemenuhan manifestasi kedaulatan masyarakat, misalnya untuk menentukan pemimpin, serta penghargaan terhadap hak dasar bagi seluruh warga negara.
Demikian antara lain pemikiran yang diwariskan mendiang Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bahtiar Effendy, yang berpulang pada 20 November 2019.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai, Bahtiar adalah man of idea dan man of action yang menjadi pangkal dalam kekuatan politik Islam di Indonesia.
Sejak era Orde Baru hingga reformasi, menurut Din, Bahtiar tetap konsisten menyebarkan gagasan bahwa kekuatan umat Islam tidak hanya dalam aspek kebudayaan, tetapi juga bisa memberikan pengaruh dalam bidang politik.
”Bahtiar membuktikan kekuatan politik Islam yang dapat menghubungkan nilai-nilai Islam dengan demokrasi,” kata Din melalui sambungan video jarak jauh pada acara mengenang almarhum Bahtiar, sekaligus peresmian Aula Prof Bahtiar Effendy di UIN Syarif Hidayatullah, Selasa (10/12/2019).
”Bahtiar membuktikan kekuatan politik Islam yang dapat menghubungkan nilai-nilai Islam dengan demokrasi”
Dalam kesempatan itu, sejumlah kolega dan sahabat memberikan testimoni mengenai Bahtiar, di antaranya mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, pengamat politik LIPI Fachry Ali, dan pengajar ilmu politik Universitas Indonesia Chusnul Mariyah.
Din mengungkapkan, Bahtiar telah mendorong hadirnya partai warga Muhammadiyah di era reformasi. Hal itu agar gagasan keumatan Muhammadiyah bisa berkontribusi nyata bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Politik bernegara
Menurut Chusnul, Bahtiar adalah sosok yang fokus dan berkomitmen besar untuk memberikan panggung yang besar bagi pengaruh nilai Islam dalam politik nasional. Bahtiar, menurut Chusnul, juga mendorong kader dan anggota Muhammadiyah lebih aktif memperkuat semangat keumatan dalam politik bernegara.
Sementara itu, Lukman mengatakan, di akhir masa hidupnya, Bahtiar, yang merupakan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020, memiliki keresahan mengenai persoalan pemilihan langsung presiden-wakil presiden dan kepala daerah.
”Pada prinsipnya, almarhum setuju dengan pemilihan langsung, tetapi dia merasa ada sisi negatif yang ditimbulkan, salah satunya konflik sosial, sehingga sisi negatif itu perlu dicarikan solusinya,” kata Lukman.
Pakar politik Islam saat ini, kata Lukman, harus meneruskan gagasan yang telah dicetuskan Bahtiar untuk menemui cara keluar dari berbagai persoalan bangsa kini.
”Pada prinsipnya, almarhum setuju dengan pemilihan langsung, tetapi dia merasa ada sisi negatif yang ditimbulkan, salah satunya konflik sosial, sehingga sisi negatif itu perlu dicarikan solusinya”
Menurut Azyumardi, Bahtiar merupakan sosok berdedikasi di bidang pendidikan. Bahtiar, merupakan sosok di balik lahirnya Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diresmikan satu dekade yang lampau.
Selain berdedikasi di kampus, Fachry menilai, Bahtiar juga merupakan pribadi intelektual yang aktif menelurkan gagasan lewat tulisan, baik berupa artikel maupun buku. Sejumlah buku yang dihasilkan oleh Bahtiar, antara lain Islam dan Negara dan Merambah Jalan Baru Islam.