Provinsi Maluku oleh banyak kalangan, termasuk dari luar negeri, dianggap berhasil dengan cepat mengatasi konflik sosial yang meletus pada 9 Januari 1999. Kini, kedamaian harus terus dijaga semua pihak.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS - Provinsi Maluku oleh banyak kalangan, termasuk dari luar negeri, dianggap berhasil dengan cepat mengatasi konflik sosial yang meletus pada 9 Januari 1999. Kini, kedamaian harus terus dijaga semua pihak. Peran elite sangat dibutuhkan, salah satunya untuk mempraktikkan politik kesejahteraan, bukan politik untuk kekuasaan semata.
Hal tersebut mengemuka dalam bedah buku berjudul "Merawat Perdamaian: 20 Tahun Konflik Maluku" di kampus Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Rabu (11/12/2019). Pembicara dalam acara itu adalah Letnan Jenderal Doni Monardo (Panglima Kodam XVI/Pattimura 2015-2017), tokoh agama Islam Ustaz Abidin Wakano, tokoh agama Kristen Protestan Pendeta John Ruhulessin, dan Rektor Unpatti MJ Sapteno.
Maluku kini sudah aman dan menjadi rumah bersama. Semua etnis, suku, dan agama hidup aman di Maluku.
Penulis utama buku itu adalah Rachma Fitriati, Budhi Gunawan, Soni A Nulhaqim, dan Maulana Irfan. Ada juga sumbangan tulisan dari beberapa wartawan yang meliput konflik, seperti Rufi Fofid, Embong Salampessy, dan Juhri Samanery serta beberapa aktivis perdamaian. Mereka yang mengalami konflik menceritakan proses dimulainya perdamaian di Maluku.
Menurut Doni, yang sekarang menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Maluku kini sudah aman dan menjadi rumah bersama. Semua etnis, suku, dan agama hidup aman di Maluku. Kini, jarang terdengar terjadi konflik antarkampung yang menewaskan orang. Masyarakat mulai menyadari betapa pentingnya hidup berdampingan secara damai. Kerusuhan akan membawa kesengsaraan yang seakan tak bertepi.
Saat menjabat Pangdam Pattimura, Doni sendiri ikut mendamaikan sejumlah desa yang warganya bertikai, seperti Desa Mamala dan Morela di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Metode yang dilakukan adalah pendekatan ekonomi. Masyarakat dibantu lewat pemberdayaan hasil laut yang disebut Program Emas Biru dan budidaya tanaman komoditas yang disebut Program Emas Hijau. Dua desa yang bertikai sejak lama itu pun kini hidup damai.
Menurut Doni, politik kesejahteraan menjadi kunci dalam mewujudkan perdamaian. Para pengangguran yang diberdayakan dalam program itu secara otomatis menjadi agen pembawa pesan damai. Sementara, politik kekuasaan berpotensi memecah belah masyarakat, bahkan dapat menimbulkan konflik sosial. Politik kekuasaan lebih sering mengorbankan masyarakat kecil.
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla, dalam pengantar buku itu, juga menyinggung ihwal ketidakadilan. Kalla menuturkan, konflik Maluku lebih disebabkan ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan politik. Ketidakadilan ekonomi, misalnya, tergambar pada kesenjangan hidup antara masyarakat pendatang yang bekerja sebagai pedagang dan warga lokal yang bekerja sebagai petani.
Kalla ikut aktif dalam memperjuangkan perdamaian Maluku hingga terwujud Perjanjian Malino II. Atas jasa itu, Kalla diangkat sebagai warga kehormatan Kota Ambon. Doni Monardo, yang dianggap berperan aktif menjaga kedamaian di Maluku, juga diangkat menjadi warga kehormatan Kota Ambon pada akhir masa jabatannya sebagai Pangdam Pattimura tahun 2017.
Generasi milenial
Menurut Uztaz Abidin Wakano, kunci dari perdamaian adalah dialog dan perjumpaan. Ruang perjumpaan informal lewat hubungan kekerabatan dan budaya dianggap paling kuat, salah satunya hubungan pela dan gandong. Pela dan gandong mengikat hubungan antarkampung dengan latar belakang agama berbeda-beda. Budaya kembali menjahit mereka yang berbeda karena keyakinan agama.
Sementara itu, muncul pula tokoh muda yang bergiat dalam perdamaian, salah satunya Ronald Reagen. Dia kini fokus menyebarkan virus perdamaian kepada kaum milenial, di antaranya melalui kegiatan seni. Ronald juga hadir dalam bedah buku itu. Ronald merupakan salah satu yang berada di garis depan kala kerusuhan 20 tahun lalu itu.