Krisis iklim tak bisa diatasi jika hanya mengedepankan ekonomi-politik dengan mengabaikan keadilan serta hak semua orang untuk bertahan hidup di Bumi.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Ribuan publikasi ilmiah telah menjelaskan bukti-bukti pemanasan global, menguatnya laju perubahan kondisi fisik sistem iklim, dan dampak yang memburuk bagi seluruh kehidupan di Bumi, termasuk pada manusia. Baru-baru ini, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang digawangi para ilmuwan dari berbagai belahan dunia menerbitkan dua laporan penting dampak perubahan iklim di daratan dan lautan yang mengancam sumber pangan.
Menjelang Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Konvensi Perubahan Iklim-Konferensi Para Pihak (UNFCCC-COP) Ke-25 di Madrid, Spanyol, Kelompok Penasihat Sains untuk KTT Aksi Iklim PBB 2019 juga menyusun sintesis ilmiah,"Bersatu dalam Sains". Dokumen itu menampilkan data penting terbaru dan temuan ilmiah bahwa iklim kita sudah berubah, bahkan kini sudah pada tahap darurat iklim.
Konsensus ilmuwan ini merekomendasikan agar semua negara memenuhi komitmen nasional untuk menurunkan emisi, sesuai Perjanjian Paris 2015. Bahkan, ilmuwan menyerukan agar pemerintah menaikkan target penurunan emisi, karena target sebelumnya tidak memadai untuk menekan laju pemanasan global di bawah 1,5 derajat celsius. Dengan tren saat ini, suhu bisa meningkat hingga 3 derajat celsius sehingga dampaknya bagi kehidupan akan sangat besar.
Namun, sebagaimana lazimnya perundingan iklim, perwakilan berbagai negara lebih mengedepankan ego dan kepentingan ekonomi politik masing-masing dibandingkan kesadaran untuk mengatasi masalah bersama. Bahkan, sebelum perundingan dimulai, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan menarik komitmennya terhadap Perjanjian Paris. Itu menyebabkan, COP25, yang seharusnya jadi momen kunci untuk aksi nyata menurunkan emisi sesuai target yang harusnya dimulai pada 2020, justru dibayangi kegagalan sejak awal.
Sikap Trump itu merupakan puncak dari pengingkarannya terhadap perubahan iklim, yang telah berulang kali dinyatakan sebelumnya. Namun, di balik penyangkalan terhadap fakta-fakta sains ini jelas ada kepentingan ekonomi politik, terutama dari kalangan industri yang selama ini diuntungkan oleh esktraksi bahan bakar fosil.
Laporan sejumlah peneliti dari InfluenceMap menunjukkan, tiap tahun lima perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia membelanjakan sekitar 200 juta dollar AS untuk melobi, menunda, atau memblokir kebijakan yang mengikat terkait penurunan emisi.
Luiz Marquez, profesor filsafat dari State University of Campinas dalam diskusi di forum side event COP25 pada Selasa (10/12) menyebutkan, kapitalisme merupakan penyebab runtuhnya lingkungan saat ini. Dia beralasan, ekonomi berbasis pertumbuhan hanya menempatkan alam dan lingkungan untuk dieksploitasi guna mengakumulasi kapital. Dia memaparkan bukti-bukti bahwa pemanasan global mulai terjadi saat Revolusi Industri, yang merupakan anak kandung sistem ekonomi kapitalis.
Kapitalisme sebenarnya terus menyesuaikan diri. Negosiasi iklim kini mengarah pada perdagangan karbon dengan pendekatan Eco-capitalism, juga dikenal sebagai kapitalisme hijau. Gagasannya adalah, "modal alam" merupakan semua kekayaan dan kehidupan bergantung, sehingga pemerintah harus memakai instrumen kebijakan berbasis pasar seperti pajak karbon dan perdagangan karbon untuk menyelesaikan masalah lingkungan.
Mekanisme belum jelas
Dalam pertemuan COP25 di Madrid kali ini, mekanisme perdagangan karbon itu jadi tumpuan meski belum menunjukkan kejelasan mekanisme setelah sepekan perundingan. Selain itu, tak ada tanda-tanda setiap negara akan meningkatkan target penurunan emisinya. Sementara dana yang dijanjikan negara maju untuk membantu negara-negara berkembang dan tertinggal sebesar 100 miliar dollar AS per tahun untuk adaptasi dan mitigasi jauh dari realisasinya.
Karena itu, banyak pihak pesimis dengan perkembangan perundingan kali ini, salah satunya dari kalangan yang mengusung “climate justice” atau keadilan iklim. Perdagangan karbon, dianggap tak bisa menjamin dukungan pada kelompok paling rentan terdampak perubahan iklim, seperti negara-negara kecil di Pasifik, yang tidak punya cukup “karbon” untuk diperdagangkan. Padahal, mereka paling sedikit jejak emisi karbonnya.
Sebanyak 70 negara paling rentan ini membentuk forum Leaders of Climate Vulnerable Forum (CVF), antara lain Kepulauan Marshall, Bangladesh, dan Filipina. “Kami marah dengan situasi saat ini. Kami marah karena menjadi korban dari negara kaya dan besar. Bagi kami perubahan iklim sangat nyata karena pulau kami tenggelam, dan kita kehilangan waktu,” kata Kathy Jetnik-Kijiner dari Marshall Islands dalam forum.
Indonesia, yang sebenarnya juga memiliki kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim, sejauh ini belum tergabung dalam CVF. Posisi kita memang lebih kompleks, karena di sisi lain merupakan negara berkembang, yang juga salah satu kelompok pengemisi terbesar, dan dituntut meningkatkan target penurunan emisinya.
Namun, seperti dikatakan Wakil Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Indonesia, Alue Dohong,”Indonesia belum terpikir meningkatkan target penurunan emisi. Kita juga harus lihat dulu bagaimana realisasi komitmen pembiayaan yang dijanjikan negara maju untuk mendukung negara berkembang hingga 100 miliar dollar AS per tahun," kata Alue.
Sebagaimana dikatakan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, saat membuka perundingan, kita memiliki sumber dana maupun teknologi untuk mengatasi perubahan iklim, kecuali kemauan politik dari para pemimpin negara untuk bersama-sama mengatasi perubahan iklim.
Penyangkalan terhadap sains terkait perubahan iklim hanya dalih untuk menutupi ketamakan sedikit orang yang menguasai ekonomi-politik. Krisis iklim tak bisa diatasi jika hanya mengedepankan ekonomi-politik dengan mengabaikan keadilan serta hak semua orang untuk bertahan hidup di Bumi.