Indonesia dinilai tak bisa memertahankan kinerja dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. Hal itu membuat peringkat Indonesia dalam Indeks Kinerja Perubahan Iklim menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
MADRID, KOMPAS—Peringkat Indonesia dalam Indeks Kinerja Perubahan Iklim yang diluncurkan Climate Action Network bersama German Watch dan New Climate Institute turun dibandingkan tahun lalu. Indonesia dinilai tak bisa memertahankan kinerja dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca.
Indeks Kinerja Perubahan Iklim (CCPI) memeringkat 57 negara yang bertanggung jawab terhadap 90 persen emisi global, dalam side event, Konferensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) . Pemeringkatan itu berdasarkan empat kategori, yaitu emisi gas rumah kaca (40 persen), energi terbarukan (20 persen), penggunaan energi (20 persen), kebijakan iklim (20 persen).
"CCPI ini menunjukkan perubahan haluan global emisi, termasuk penurunan konsumsi batubara. Namun, beberapa negara besar berusaha melawan tren ini, terutama Amerika Serikat yang ada di urutan terbawah (ke-61),"kata Ursula Hagen dari Germanwatch, salah satu penulis indeks, dalam peluncuran CCPI, pada side event Konferensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) Konferensi Para Pihak (COP) ke-25, Selasa (10/12/2019), di Madrid, Spanyol.
CCPI ini menunjukkan perubahan haluan global emisi, termasuk penurunan konsumsi batubara. Namun, beberapa negara besar melawan tren ini, terutama Amerika Serikat.
Selain Amerika Serikat, menurut Hagen, negara lain yang tidak menunjukkan upaya meninggalkan energi fosil yakni Australia (ke-56) dan Arab Saudi (ke-60). Dengan tiga pemerintah ini sangat dipengaruhi lobi batubara dan minyak, hampir tidak ada tanda-tanda kebijakan iklim yang serius.
Secara global, konsumsi batubara terus turun dan penggunaan energi terbarukan terus meningkat. Dari 31 dari 57 negara dengan emisi tertinggi yang dinilai, mengalami penurunan emisi.
Namun perkembangan baik itu dinilai belum signifikan untuk mengerem laju pemanasan global karena tak ada negara yang dinilai berada di jalur yang sesuai target penurunan emisi sebagaimana disepakati dalam Kesepakatan Paris 2015. Atas dasar ini, CCPI mengosongkan peringkat pertama hingga ketiga negara yang memiliki indeks tertinggi.
Laporan ini juga menunjukkan, hanya dua negara G20, yang berada di kategori kinerja tinggi yaitu Inggris (ke-7) dan India (ke-9). Delapan negara G20 masih berada dalam kategori terburuk dari indeks.
Untuk peringkat keempat negara dengan CCPI tertinggi adalah Swedia, disusul Denmark, dan Maroko. Secara keseluruhan, delapan negara Uni Eropa diberi peringkat tinggi, delapan rendah dan dua sangat rendah. Dua negara Uni Eropa terendah itu yakni Bulgaria (ke-49) dan Polandia (ke-50). "Uni Eropa kehilangan beberapa peringkat tetapi bisa naik lagi jika ingin mengikuti rekomendasi terbaru Komisi Eropa untuk meningkatkan target penurunan emisi dari 40 persen jadi 55 persen tahun 2030,” kata Niklas Höhne dari NewClimate Institute.
China yang jadi penghasil emisi global terbesar meningkat peringkatnya ke posisi ke-30 ("sedang"). Skor China membaik karena ada peningkatan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi beberapa tahun terakhir dan kebijakan relatif baik. China masih buruk dalam emisi dan efisiensi energi.
Kinerja menurun
Dalam indeks kali ini, posisi Indonesia berada di peringkat ke-39 atau turun dari sebelumnya ke-38. Indonesia dinilai tak bisa mempertahankan peringkat "menengah" dalam kategori emisi gas rumah kaca atau GRK, sehingga menerima peringkat rendah. Namun, Indonesia bisa meningkatkan kinerjanya dalam kategori penggunaan energi dari peringkat "menengah" tahun lalu jadi peringkat "tinggi" dengan tingkat penggunaan energi per kapita saat ini sejalan dengan jalur di bawah 2 derajat celsius.
Indonesia juga dinilai "sedang" dalam kategori energi terbarukan. Namun target penurunan emisi nasional (NDC) Indonesia untuk pengurangan emisi, energi terbarukan dan penggunaan energy dinilai tidak terintegrasi dengan baik ke dalam kebijakan nasional sehingga menyebabkan kurangnya implementasi. Ini menghasilkan peringkat "amat rendah" untuk kategori kinerja kebijakan iklim nasional Indonesa. Dengan kinerja "sedang" untuk kebijakan iklim internasionalnya, Indonesia menerima peringkat "rendah" secara keseluruhan dalam kategori kebijakan iklim.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Alue Dohong, yang ditemui di Madrid mempertanyakan buruknya penilaian terhadap Indonesia terkait perubahan iklim ini. Menurut dia, Indonesia sudah melakukan banyak hal untuk menurunkan emisi, terutama di sektor hutan dan lahan, serta energi yang menjadi penyumbang utama emisi Indonesia. Dia juga menekankan, Indonesia belum akan meningkatkan target penurunan emisi, namun terfokus untuk mencapai target penurunan emisi sesuai Perjanjian Paris 2015.
Perundingan alot
Sementara perundingan iklim di Madrid belum menyepakati sejumlah hal signifikan, terutama aturan pasar karbon. Belum adanya titik terang negosiasi ini memicu kecemasan negara-negara kecil yang rentan terdampak perubahan iklim.
Selain soal perdagangan karbon, masalah lain yang diperdebatkan adalah permintaan bantuan dari negara-negara miskin demi mengatasi kerusakan alam dan bencana alam yang dipicu perubahan iklim.
Selasa (10/12/2019), perundingan memasuki babak baru dengan masuknya para menteri demi mengatasi soal yang tak bisa diselesaikan para perunding dari 200 negara. Perwakilan pemimpin negara dan pejabat tinggi memaparkan pandangan soal perubahan iklim.
Petteri Taalas, Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), mengatakan, ”Pemanasan global berlanjut. Suhu global meningkat 1,1 derajat celsius sejak pra-industri dan laut menghangat setengah derajat. Ada 220 juta orang terkena gelombang panas tahun lalu. Lebih dari 800 juta orang kekurangan pangan.”
Presiden Konferensi Para Pihak (COP) Ke-25 Perubahan Iklim dan Menteri Lingkungan Chile Carolina Schmidt menyebut, kekeringan, kebakaran, dan banjir menghantam warga di banyak negara yang punya kemampuan terendah menghadapinya. ”Konferensi ini harus mengubah arah aksi. Perubahan ambisi dengan membawa aktor baru ke meja: pemerintah daerah serta sektor produktif dan finansial, ”katanya.
Di luar sidang, 70 negara kepulauan kecil dan terdampak paling parah perubahan iklim membentuk Madrid Ambition Drive for Survival. Mereka menuntut aksi nyata membantu mereka beradaptasi. ”Kami menyerukan perubahan ambisi (menekan emisi). Warga kami terancam tenggelam,” kata Kathy Jetnil-Kijiner, Climate Envoy dari Kepulauan Marshall.