Wacana amendemen konstitusi masih hangat menjadi diskusi publik. Pimpinan MPR menargetkan amendemen konstitusi akan diputuskan pada 2023 atau setahun sebelum pemilu serentak 2024.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR memastikan amendemen konstitusi akan diputuskan pada 2023 atau setahun sebelum pemilu serentak 2024. Sebelum tenggat itu, pimpinan MPR menggelar sosialisasi dan membahas substansi kemungkinan amendemen secara mendalam dengan melibatkan publik.
Target waktu itu dikemukakan Ketua MPR Bambang Soesatyo saat mengunjungi kantor Redaksi Harian Kompas di Jakarta, Kamis (12/12/2019). Bambang didampingi Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ahmad Basarah dan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan.
”Pada 2023 harus sudah diputus, apakah kami akan melakukan amendemen terbatas, kembali ke UUD 1945 yang asli, atau tidak (amendemen) sama sekali. Keputusan itu harus jauh sebelum penyelenggaraan Pemilu 2024 agar tidak dicurigai ada kaitannya dengan pemilu,” kata Bambang.
Ia mengakui, pembahasan mendalam perlu dilakukan. Masih ada perbedaan mencolok dalam menanggapi wacana amendemen, baik dari kalangan internal MPR, pemerintah, maupun masyarakat terhadap gagasan tersebut.
Menurut Bambang, aspirasi terkait wacana amendemen konstitusi setidaknya dapat dikelompokkan menjadi enam bagian. Di antaranya mendukung amendemen untuk menghidupkan kembali haluan negara, mengubah UUD 1945 secara menyeluruh, dan menyempurnakan sejumlah pasal dalam konstitusi.
Selain itu, ada pula pendapat untuk kembali ke UUD 1945 dan mengubah beberapa bagian yang diperlukan melalui adendum serta tidak melakukan amendemen atau cukup menggunakan UUD 1945 yang saat ini berlaku.
Sikap fraksi MPR pun terbelah. ”Ada tiga partai yang tidak menyetujui amendemen, yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Golkar,” lanjut Bambang.
Syarief Hasan, mewakili Partai Demokrat, berpandangan bahwa amendemen tidak diperlukan. ”Mekanisme pembuatan haluan negara bisa dilakukan dengan membuat undang-undang saja,” ujarnya.
Ahmad Basarah mengakui, salah satu kekhawatiran terhadap amendemen adalah pembahasan yang melebar pada banyak substansi di luar haluan negara. PDI-P yang sejak mula mewacanakan amendemen pun tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Oleh karena itu, harus ada kesepakatan antarfraksi mengenai hal dasar yang tak boleh diubah sebelum amendemen diusulkan.
Ia pun menepis pandangan yang menilai amendemen dimaksudkan untuk mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan bisa memakzulkan presiden jika tak bisa bekerja sesuai dengan haluan negara.
Menurut Basarah, dalam konsep PDI-P, MPR akan berperan menetapkan haluan negara, sedangkan perumusnya adalah Badan Riset Nasional dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
”Presiden juga tidak berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada MPR, tetapi menyampaikan laporan kinerja. Penilaian terhadap laporan kinerja itu dilakukan oleh masyarakat, bukan MPR,” ucap Basarah.
Pelibatan publik
Bambang menjamin, keputusan untuk mengamendemen konstitusi atau tidak akan didasarkan pada kehendak masyarakat. Untuk itu, selama empat tahun ke depan, pihaknya akan fokus menyerap aspirasi berbagai kalangan.
Sebelumnya, MPR telah bersafari ke sejumlah partai politik. Hal itu akan dilanjutkan ke berbagai organisasi kemasyarakatan dan perguruan tinggi. Saat ini, platform yang memungkinkan masyarakat untuk bisa mengakses aktivitas kerja MPR tengah dirancang.
”Pembahasan terkait amendemen nantinya juga perlu untuk dibuka seluas-luasnya agar masyarakat tahu apa yang dibicarakan di ruang parlemen. Hal itu bisa mengurangi kecurigaan masyarakat terhadap kami,” kata Bambang.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari menyebutkan, wacana amendemen justru semestinya diwacanakan partai saat pemilu. Karena itu, kemenangan partai nantinya sekaligus mewakili kehendak rakyat terhadap isu perubahan konstitusi.
”Pada Pemilu 2019, tidak ada satu partai pun yang mengampanyekan amendemen, kemudian tiba-tiba digagas. Artinya, itu pasti bukan keinginan rakyat,” ujarnya.
Menurut Feri, jeda setahun antara pengumuman keputusan amendemen dan pemilu justru menimbulkan kejanggalan. Dalam jeda waktu tersebut, sangat mungkin transaksi pasal-pasal UUD 1945 dilakukan untuk memenangkan kepentingan elite, bukan kepentingan masyarakat.