Cerita Penutupan Lokalisasi Dolly Dibagikan di Turki
›
Cerita Penutupan Lokalisasi...
Iklan
Cerita Penutupan Lokalisasi Dolly Dibagikan di Turki
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini membagikan pengalaman Surabaya dalam menutup lokalisasi Dolly dalam forum bertajuk International Forum of Woman in Local Government yang berlangsung di Ankara, Turki, Rabu (11/12/2019).
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Tri Rismaharini menghadiri forum bertajuk International Forum of Woman in Local Government yang berlangsung di Ankara, Turki, Rabu-Kamis, 11-12 Desember 2019. Dalam forum yang dihadiri Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan puluhan perempuan pemimpin inspiratif tersebut, Risma membagikan pengalaman Surabaya dalam menutup lokalisasi Dolly.
Dalam siaran pers yang diterima pada Kamis (12/12/2019), Risma memaparkan sejumlah program pemberdayaan perempuan di Surabaya. Salah satu yang diungkapkan adalah perjalanan menutup lokalisasi di Surabaya, termasuk lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Gang Dolly.
Tema itu dipilih karena saat bertemu dengan Presiden Erdogan di forum PBB di Amerika Serikat, akhir September silam, Turki tertarik dengan penutupan lokalisasi Dolly yang dinilai mampu meningkatkan kualitas hidup perempuan-perempuan Surabaya.
”Pada 2010, saat pertama kali menjadi wali kota, saya menemukan sejumlah masalah di Surabaya, di antaranya terkait banjir, infrastruktur, kemiskinan, dan perdagangan manusia. Setelah ditelusuri, solusi dari masalah perdagangan manusia adalah dengan menutup lokalisasi di Surabaya,” tutur Risma dalam forum pada Rabu.
Penutupan lokalisasi di Surabaya dilakukan bertahap sejak 2012. Ada enam lokalisasi besar yang ditutup, termasuk Gang Dolly yang disebut sebagai prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Keberanian menutup lokalisasi yang menjadi tempat mencari uang ratusan orang itu akhirnya dilakukan karena memiliki dampak buruk ke lingkungan, terutama masa depan anak-anak.
Oleh sebab itu, satu per satu lokalisasi ditutup agar tidak ada lagi kegiatan prostitusi di kota ini. Sebelum menutup, lanjut Risma, pihaknya membekali warga sekitar dengan keterampilan agar bisa tetap mendapatkan penghasilan setelah lokalisasi ditutup. Mereka kemudian membuka bisnis baru di bidang kuliner dan kerajinan tangan. ”Solusi harus disiapkan agar warga terdampak bisa melanjutkan kehidupan menjadi lebih baik,” ucapnya.
Solusi harus disiapkan agar warga terdampak bisa melanjutkan kehidupan menjadi lebih baik.
Kawasan eks lokalisasi juga diubah menjadi kawasan yang menarik bagi masyarakat agar stigma kepada warga sekitar berubah. Kini, Gang Dolly menjadi salah satu sentra kerajinan dengan produk unggulan batik Dolly, keset, dan sentra kuliner rawon. Pemerintah Kota Surabaya juga membangun pusat oleh-oleh di kawasan tersebut agar memudahkan warga menjual barang dagangannya.
”Di eks lokalisasi Sememi, kami menjadikannya sebagai kawasan wisata kebun anggrek. Di tempat itu, semua anggrek yang ada di Surabaya dibudidayakan. Warga juga bisa menjual anggrek hasil pembibitan agar penghasilan bertambah,” tutur Risma.
Menurut Risma, perempuan pemimpin memiliki perasaan lebih peka terhadap masalah-masalah sosial, terutama jika berkaitan dengan anak-anak dan keluarga. Kebijakan yang diciptakan biasanya lebih teliti dibandingkan dengan laki-laki pemimpin. ”Perempuan selalu memiliki ciri khas tersendiri dalam menyelesaikan persoalan,” ucapnya.
Kepala Satpol PP Kota Surabaya Irvan Widyanto mengatakan, pihaknya terus melakukan patroli untuk mencegah munculnya tempat-tempat prostitusi. Lokasi yang dicurigai menjadi tempat prostitusi diperiksa secara rutin, seperti tempat pijat dan kawasan Stasiun Wonokromo.
”Bagi pekerja seks komersial yang terindikasi terkena HIV/AIDS, langsung ditangani agar tidak menularkan ke orang lain,” lanjutnya.