Hapus Diskriminasi terhadap Disabilitas, Wujudkan Masyarakat Inklusi
›
Hapus Diskriminasi terhadap...
Iklan
Hapus Diskriminasi terhadap Disabilitas, Wujudkan Masyarakat Inklusi
Cara pandang masyarakat dalam melihat disabilitas harus diubah. Pemerintah pun harus memberikan perhatian serius dalam berbagai hal termasuk mewujudkan pendidikan inklusi bagi disabilitas.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Isu disabilitas adalah bagian dari kehidupan seluruh masyarakat di dunia. Karena itu mewujudkan masyarakat yang benar-benar inklusi menjadi sangat penting, untuk menghapus diskriminasi, serta memastikan warga disabilitas memiliki hak dan perlindungan yang sama di segala bidang.
Kondisi tersebut akan tercipta jika masyarakat menyadari pentingnya kehadiran dan keikutsertaan para disabilitas dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu, selain cara pandang masyarakat dalam melihat disabilitas harus diubah, pemerintah Indonesia harus memberikan perhatian serius dalam berbagai hal termasuk mewujudkan pendidikan inklusi bagi disabilitas.
Demikian rangkuman pendapat yang mengemuka dalam dialog bertema “Big Ideas Seminar Series event: Ask Me Anything’, yang membahas tentang stereotip terhadap penyandang disabilitas, Selasa (10/12/2019) malam, di ruang Teater Purnululu, Kedutaan Besar Australia di Indonesia di Jakarta.
Kegiatan tersebut dalam rangka memperingati Hari Penyandang Disabilitas Internasional 2019. Hadir sebagai pembicara Angkie Yudistia (pendiri Thisable Enterprise dan Staf Khusus Presiden), Vanessa Vlajkovic (pegiat disabilitas Australia Barat dan peserta Program Pertukaran Pemuda Australia-Indonesia/AIYEP), Ananda Sukarlan (komposer dan pianis) dan Bahrul Fuad (konsultan disabilitas dan inklusi sosial).
Dalam acara yang dipandu Marthella Rivera Roidatua (pendiri Koneksi Indonesia Inklusif), pembicara menjawab pertanyaan anonim dari para penonton tentang prestasi mereka, pengalaman diskriminasi dan bahkan hubungan romantis. “Kami ingin merayakan Hari Disabilitas Internasional sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keikutsertaan disabilitas dalam berbagai kehidupan,” ujar Allaster Cox, Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia.
Menurut Allaster, penyandang disabilitas memiliki kemampuan yang sama dengan masyarakat umumnya, untuk berpartisipasi di segala bidang termasuk menjadi pemimpin.
Karena itu, Pemerintah Australia, melalui kemitraan pembangunannya dengan Indonesia, mendukung kegiatan yang ditargetkan dan difokuskan pada inklusi disabilitas di Indonesia, termasuk mendukung penyandang disabilitas untuk mengakses layanan publik dan bantuan sosial serta mendukung pembangunan infrastruktur inklusif.
Angkie menyatakan saat ini pemerintah berusaha mengayomi masyarakat disabilitas. Pekerjaan rumah pertama adalah mengubah stigma penyandang disabilitas menjadi isu hak asasi manusia.
“Semenjak saya menjadi staf khusus presiden saya sudah mendengar banyak aspirasi teman-teman disabilitas dari berbagai pihak, dan itu selalu kita tampung,” ujar Angkie seraya mengklaim sudah banyak isu disabilitas yang diselesaikan bersama, dan memaparkan beberapa program pemerintah saat ini.
Berbeda dengan Angkie, Badrul justru mengungkapkan seharusnya berdasarkan UU Penyandang Disabilitas pemerintah mewajibkan kuota tenaga kerja disabilitas 2 persen BUMN dan 1 persen swasta. Tapi masih ada pekerjaan rumah, persoalannya ketika kuota dibuka, yang melamar sangat minim, karena pendidikan.
“Menurut data Unicef tahun 2016 itu ada 64 persen penyandang disabilitas hanya lulus SD. Jadi kalau hanya lulus SD jelas mereka tidak bisa melamar pekerjaan yang syaratnya S1. Oleh karena itu, PR pemerintah bagamana membangun sekolah inklusi yang bagus, yang benar-benar inkulus, selama ini sekolah inklusi tidak digarap serius,” katanya.
Adapun Ananda menyatakan masyarakat harus memandang disabilitas pada kelebihannya bukan melihat kekurangannya.