Kerusakan Daerah Resapan dan Pendangkalan Sungai Picu Banjir di Aceh
›
Kerusakan Daerah Resapan dan...
Iklan
Kerusakan Daerah Resapan dan Pendangkalan Sungai Picu Banjir di Aceh
Bencana banjir genangan akibat luapan sungai dalam dua bulan terakhir kian sering melanda sejumlah kabupaten dan kota di Aceh. Faktor pemicu banjir antara lain kerusakan daerah resapan air dan pendangkalan sungai.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Bencana banjir genangan akibat luapan sungai dalam dua bulan terakhir kian sering melanda sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Aceh. Faktor pemicu banjir antara lain akibat kerusakan daerah resapan air dan pendangkalan sungai.
Selama November dan Desember, daerah yang dilanda banjir adalah Kabupaten Aceh Selatan, Nagan Raya, Aceh Utara, Bireuen, Langsa, dan Aceh Timur. Kawasan yang dilanda banjir umumnya berada di kawasan hilir dengan topografi rendah. Daya resap tanah yang rendah menyebabkan air dari wilayah hulu lebih cepat mengalir ke hilir.
Di Aceh Timur, kawasan yang dilanda banjir akibat luapan Sungai Peureulak dan Arakundo meliputi Kecamatan Banda Alam, Peureulak Timur, Peureulak Barat, Peureulak, dan Kecamatan Idi Tunong. Kelima kecamatan itu berada di kawasan pesisir atau hilir. Pada Kamis (12/12/2019), ketinggian air di permukiman warga 30 sentimeter hingga 80 sentimeter.
Peneliti Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Ella Meilianda, menuturkan, pemicu utama banjir di Aceh karena kerusakan daerah resapan air di hulu dan sedimentasi sungai. Pada saat yang sama, curah hujan juga tinggi. ”Curah hujan tinggi, tetapi jika daya dukung lingkungan baik, potensi banjir bisa dikurangi,” lanjutnya.
Dari hasil kajian di kawasan barat Aceh yang meliputi Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Selatan, Ella mendapati banyak kawasan resapan air di hulu dalam keadaan rusak karena tutupan hutan berkurang. Lahan yang seharusnya menjadi daerah resapan kini beralih fungsi menjadi perkebunan.
Daerah resapan air tidak hanya di dalam kawasan hutan lindung, tetapi juga kawasan budidaya warga. Akibat penerapan pola perkebunan monokultur, fungsi kawasan pun berubah. Di kawasan itu, banyak lahan ditanami kelapa sawit tanpa dibarengi tegakan keras. ”Kalau hulu tidak dibereskan, banjir akan terus menjadi ancaman,” kata Ella.
Pada saat kawasan hulu rusak, air lebih cepat mengalir ke sungai. Air mengalir dengan ikut membawa tanah dan material lain yang mempercepat sedimentasi sungai. Pendangkalan ini menyebabkan daya tampung sungai menurun sehingga saat pasokan air meningkat, akan meluap ke permukiman warga di wilayah hilir.
Ella menuturkan, solusi jangka pendek, banjir dapat dihalau dengan membuat tanggul sungai. Adapun solusi jangka panjang dengan memperbaiki daerah resapan serta menormalisasi sungai.
Eko Nurwijayanto dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Krueng Aceh menuturkan, saat ini terdapat 250.000 hektar lahan kritis di wilayah pengelolaan DAS Krueng Aceh. Lahan kritis itu tersebar di kawasan hutan lindung dan kawasan budidaya.
Eko mengatakan, pada kawasan hutan lindung, pihaknya telah melakukan penghijauan kembali bekerja sama dengan dinas kehutanan. Namun, pada kawasan budidaya, diakuinya sulit diintervensi langsung karena lahan tersebut merupakan perkebunan warga.
Pihaknya mengajak warga untuk menanam pohon yang bernilai ekonomis, seperti durian, jengkol, petai, dan avokad di kebun mereka. ”Tidak masalah warga berkebun dengan tanaman muda, tetapi sebaiknya tanam juga pohon keras yang memiliki nilai ekonomi,” ujar Eko.
Pada 2019, BPDAS Krueng Aceh telah menyalurkan bibit pohon sebanyak 80.000 batang. Pohon itu ditanami pada hutan kritis, area publik, dan perkebunan warga. Eko menyebutkan, beberapa DAS di Aceh yang rusak parah adalah DAS Peusangan (Bireuen-Aceh Tengah), DAS Tripa (Nagan Raya), dan DAS Meureboe (Aceh Barat). ”DAS yang kritis menjadi prioritas pemulihan,” ujarnya.
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Bobby Syahputra mengatakan, penanggulangan dan mitigasi bencana banjir harus dilakukan bersama. Pasalnya, BPBA tidak memiliki kewenangan terhadap pengelolaan kawasan hutan dan sungai. ”Yang kami lakukan pendidikan kesiapsiagaan kepada warga,” ucapnya.
Kajian risiko bencana Aceh 2016-2020 yang disusun BPBA menyebutkan, 19 kabupaten/kota di Aceh memiliki risiko tinggi terhadap bencana banjir. Adapun luas lahan yang digenangi banjir di Aceh mencapai 1,5 hektar. Dari 5,5 juta penduduk Aceh, sebanyak 4,2 juta berpotensi terdampak banjir.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur menuturkan, pada 2017, nilai kerugian dampak bencana di Aceh diperkirakan mencapai Rp 1,5 triliun. Kerugian itu dihitung dari kerusakan infrastruktur, lahan pertanian, dan harta benda milik warga.
Pada 2017, bencana banjir bandang di Aceh Tenggara juga merusak infrastruktur publik, seperti jalan, rumah ibadah, dan sekolah. Pada tahun yang sama, kebakaran hutan di Aceh Barat dan Nagan Raya juga mengakibatkan kerugian bagi petani. ”Intensitas bencana alam semakin tinggi. Ini terjadi karena laju kerusakan alam kian parah,” kata Nur.
Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Aceh Nasir Nurdin menyebutkan, bencana alam berdampak terhadap kondisi ekonomi dan sosial warga. Dia berharap, pemerintah menyiapkan langkah jangka panjang yang konkret untuk mengurangi dampak bencana.