Laporan Pelanggaran HAM di Papua Meningkat Drastis
›
Laporan Pelanggaran HAM di...
Iklan
Laporan Pelanggaran HAM di Papua Meningkat Drastis
Laporan pelanggaran hak asasi manusia di Papua tahun ini meningkat drastis. Jumlah laporan yang ditangani Komisi Nasional Hak Asasi Manusia naik dari 68 kasus pada tahun 2018 menjadi 154 kasus pada tahun ini.
Oleh
FABIO COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS - Laporan pelanggaran hak asasi manusia di Papua tahun ini meningkat drastis. Jumlah laporan yang ditangani Komisi Nasional Hak Asasi Manusia naik dari 68 kasus pada tahun 2018 menjadi 154 kasus pada tahun ini.
Hal ini disampaikan Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Provinsi Papua Frits Ramandey, di Jayapura, Kamis (12/12/2019). Frits mengatakan, laporan pelanggaran HAM yang ditangani pihaknya tahun ini merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. "154 laporan itu berdasarkan laporan dari warga dan juga hasil temuan Komnas HAM Papua," ujarnya.
Banyaknya laporan itu dipicu sejumlah peristiwa menonjol di Papua dan Papua Barat sebagai dampak kasus dugaan ujaran kebencian bernada rasisme yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya beberapa waktu lalu. Hal ini memicu kerusuhan di sejumlah kabupaten/kota, seperti Manokwari, Fakfak, Sorong, Deiyai, Kota Jayapura, dan Wamena.
Selain itu, peningkatan laporan pelanggaran HAM juga terkait konflik pascapenyerangan pekerja jalan Trans-Papua dari PT Istaka Karya oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) pada Desember 2018 di Kabupaten Nduga. Konflik itu berlarut-larut hingga tahun 2019.
Frits menuturkan, hak yang paling dilanggar dari 154 laporan ini adalah hak untuk hidup. Sebanyak 48 warga meninggal yang diduga menjadi korban pelanggaran HAM.
Sementara, tiga pihak yang dilaporkan terindikasi melakukan pelanggaran HAM terbanyak adalah kelompok tertentu (KKB dan massa) sebanyak 47 laporan, Polri 25 laporan, dan pemerintah 18 laporan. "Dari klasifikasi hak yang dilanggar, meliputi 115 laporan pelanggaran hak sipil dan politik serta 39 laporan pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya," tutur Frits.
Frits berpendapat, konflik yang berpotensi memunculkan pelanggaran HAM dapat kembali terjadi di Papua dan Papua Barat tahun depan. Hal ini disebabkan masih adanya eksodus ribuan mahasiswa asal Papua dari sejumlah daerah di Indonesia kembali ke Papua. Selain itu, kasus ujaran kebencian bernada rasisme juga masih menjadi isu sensitif di tengah masyarakat.
"Diperlukan sinergi antara pemerintah daerah dan aparat keamanan untuk mengatasi potensi konflik tersebut. Harus ada rekonsiliasi bersama agar masyarakat bisa memaafkan masalah ini," katanya.
Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw mengatakan, situasi di Papua pada umumnya semakin kondusif. Aparat kepolisian tak hanya menggunakan upaya penegakan hukum, tetapi juga cara yang humanis.
"Kami telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk memulangkan mahasiswa ke tempat semula mereka menimba ilmu. Saat ini, sekitar 307 mahasiswa yang telah mendaftar," kata Paulus.
Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel (Inf) Eko Daryanto mengatakan, pihaknya akan tetap menggunakan upaya penegakan hukum untuk menghadapi gangguan keamanan di Papua secara berimbang.
"Selain penegakan hukum, kami juga fokus pada kegiatan bimbingan teritorial, salah satunya program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD). Kegiatan ini berupa pembangunan infrastruktur seperti rumah warga dan jalan," kata Eko.