Kapasitas logistik di Indonesia sulit meningkat karena proses operasional yang sebagian masih manual. Padahal, industri logistik berpeluang tumbuh.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Potensi petumbuhan industri logistik terbuka seiring transaksi transaksi perdagangan secara elektronik atau e-dagang yang meningkat. Namun, industri logistik di Indonesia masih belum efisien.
Diperkirakan, belanja logistik dunia akan mencapai 12 triliun dollar AS pada 2023. Belanja logistik tumbuh di atas 10 persen, antara lain di India (13 persen), China (14 persen), dan Afrika (15 persen). Sementara, di Eropa tumbuh 9,5 persen dan AS tumbuh 8,2 persen.
Pendapatan industri logistik meningkat. Namun, keuntungan industri turun karena persaingan yang semakin ketat.
Proyeksi itu dipaparkan Frost & Sullivan di Jakarta, Rabu (11/12/2019). Proyeksi juga menyebutkan, industri logistik di Indonesia akan tumbuh 6,5 persen secara majemuk sampai dengan 2022.
Konsultan pada Keilmuan Transportasi & Logistik Frost & Sullivan, Mohamed Najib, menyampaikan, pasar logistik dan transportasi di Indonesia pada 2020 diperkirakan Rp 80 triliun. Indonesia akan menjadi salah satu pasar logistik terbesar di dunia, karena 60 persen penduduknya akan tinggal di perkotaan pada 2025.
Ketua Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Masita menyampaikan, prediksi pasar logistik pada 2020 yang Rp 80 triliun itu baru 30 persen dari potensi pasar logistik dan transportasi Indonesia yang diperkirakan mencapai Rp 240 triliun.
Menurut Zaldy, potensi logistik di Indonesia sangat besar. Pertumbuhan logistik rata-rata 12-13 persen per tahun atau di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, keuntungan perusahaan logistik tergerus karena persaingan ketat perusahaan, antara lain promosi berupa gratis ongkos kirim.
Sistem
Zaldy menambahkan, pengembangan logistik Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Ketertinggalan logistik dinilai belum bisa menjawab kebutuhan revolusi industri 4.0 atau industri yang banyak dikaitkan dengan teknologi digital. Industri logistik di Indonesia masih ada di level 2.0, yakni pada tahap standarisasi.
“Saat ini standarisasi sistem logistik belum beres. Otomasi baru jalan jika ada standarisasi. Dibutuhkan solusi yang radikal untuk menyelesaikan persoalan logistik ,” katanya.
Persoalan otomasi juga menghambat perkembangan bisnis logistik ekspres di tengah persaingan yang kian ketat. Dengan volume pengiriman 4 juta-5 juta barang per hari -yang pada tahun depan diprediksi 7 juta per hari-, belum ada perusahaan logistik ekspres di Indonesia yang bisa meningkatkan kapasitas sebesar itu.
Proses operasional yang masih manual menghambat peningkatan kapasitas logistik. Padahal, melalui otomasi, biaya operasional dapat ditekan hingga 25 persen.
Akibatnya, tambah Zaldy, sejumlah perusahaan e-dagang menyediakan kurir sendiri. “Makin banyak perusahaan e-dagang buka kurir sendiri karena menyadari perusahaan eksternal logistik ekspres tidak mampu menaikkan kapasitas,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Shopee Indonesia Christin Djuarto menyebutkan, pihaknya bersiap menyambut Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) pada Kamis (12/12) ini. Pihaknya mengantisipasi lonjakan pengiriman dengan cara menyediakan kurir sendiri, yakni Shopee express, disamping bekerja sama dengan mitra logistik. (LKT)