Setahun Lebih, Penembakan Poro Duka Belum Terungkap
›
Setahun Lebih, Penembakan Poro...
Iklan
Setahun Lebih, Penembakan Poro Duka Belum Terungkap
Masyarakat Sumba menunggu pengungkapan kasus penembakan Poro Duka (45), petani yang menolak pengukuran tanah di Pantai Marosi, Desa Patiala Bawa, Lamboya, Sumba Barat, NTT, pada 25 April 2018 lalu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
WAIKABUBAK, KOMPAS — Masyarakat Sumba, Nusa Tenggara Timur, menunggu pengungkapan kasus penembakan Poro Duka (45), petani yang menolak pengukuran tanah di Pantai Marosi, Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya, Sumba Barat, NTT, pada 25 April 2018. Poro Duka tewas saat melakukan penolakan bersama ratusan petani lainnya. Selain Poro Duka, kasus pembunuhan serupa di kabupaten lain pun belum terungkap tuntas sampai hari ini.
Ketua Yayasan Kasihan dan Bantuan Hukum (YKBH) Sarnelli Nusa Tenggara Timur (NTT) Pastor Paulus Dwiyaminarta CSsR di Waikabubak, Kamis, (12/12/2019), mengatakan, memperingati Hari HAM Sedunia pada 10 Desember, masyarakat melakukan aksi keprihatinan atas kematian Poro Duka, warga Desa Patiala Bawa itu. Korban meninggalkan seorang istri dan dua anak yang masih kecil.
Peristiwa penembakan terjadi saat korban bersama sekitar 110 warga Desa Patiala Bawa melakukan demonstrasi menolak pengukuran tanah seluas 51 hektar di Pantai Marosi yang dilakukan PT Sutera Marosi. Warga menolak pengukuran tanah karena merasa tanah yang diukur merupakan tanah ulayat suku Marosi.
Turut hadir mengawal proses pengukuran Bupati Sumba Barat, anggota DPRD Sumba Barat, Kepala Dinas Pertahanan, perwakilan Badan Pertanahan Nasional NTT, sekitar 60 anggota Polres Sumba Barat dan Brimob, dan belasan anggota TNI.
Sudah jelas kematian korban akibat diterjang peluru. Ini sesuai pengakuan dokter yang melakukan otopsi di Rumah Sakit Waikabubak saat itu. (Paulus Dwiyaminarta)
”Korban berada di sisi di tengah lapangan sambil berdemonstrasi bersama warga lain. Ia berteriak mengusir pengusaha dan rombongan yang datang. Sempat terjadi saling dorong dengan aparat keamanan. Tiba-tiba korban Poro Duka yang berada di tengah kerumunan massa terjatuh di rerumputan sambil memegang dada. Korban pun tewas di tempat kejadian,” kata Paulus.
Setelah otopsi dilakukan di RSUD Waikabubak, sesuai keterangan dokter, ditemukan satu butir peluru di lambung korban. Peluru ini pun sudah dianalisis pihak penyidik, tetapi belum terungkap siapa pemilik peluru itu.
Polres Sumba Barat sudah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP), mengumpulkan barang bukti termasuk selongsong peluru tajam di TKP, meminta keterangan saksi-saksi, tetapi sampai saat ini siapa pelaku penembakan belum terungkap.
Komnas HAM, anggota DPR, dan sejumlah LSM telah turun ke Sumba Barat mendesak Polres Sumba Barat mengusut kasus ini, tetapi sampai hari ini kasus masih dalam tahap penyelidikan.
”Pihak keluarga korban, masyarakat Sumba, dan masyarakat NTT menunggu pengungkapan kasus ini secara terbuka kepada publik. Sudah jelas kematian korban akibat diterjang peluru. Ini sesuai pengakuan dokter yang melakukan otopsi di Rumah Sakit Waikabubak saat itu. Dalam penyelidikan disebutkan, peluru itu milik aparat keamanan. Tetapi, dari satuan mana, ini yang sulit diungkap. Saat itu yang mengamankan aksi penolakan dari Polres Sumba Barat, anggota Brimob, dan TNI,” kata Paulus.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Sumba Umbu Manurara mengatakan, Kepala Polri dan pimpinan TNI harus turun tangan menyelesaikan kasus penembakan Poro Duka. Tiga satuan keamanan yang bertugas saat itu terkesan saling melemparkan tanggung jawab dan bahkan saling menuding sehingga kasus ini sulit terungkap.
”Baik satuan dari Polres Sumba Barat, Brimob, maupun TNI masing-masing punya komandan lapangan saat itu. Komandan ini yang dimintai keterangan. Mereka paling tahu, siapa anggotanya yang telah melakukan penembakan itu dan periksa peluru yang ada di dalam senjata saat ini, kemudian disampaikan ke publik. Ini gampang sekali, tetapi mengapa dipersulit,” kata Manurara.
Menurut Manurara, saat ini sebagian besar pesisir tanah Sumba sudah dikuasai pengusaha dari luar. Mereka membeli tanah-tanah di pesisir atas kerja sama dengan calo lokal tanpa pengetahuan pemilik tanah sebenarnya. Tanah di Pantai Marosi, misalnya, masyarakat tidak pernah tahu proses jual beli dilakukan, tetapi tiba-tiba perusahaan itu datang mengukur tanah untuk hotel.
Setelah ditelusuri, lanjut Manurara, ternyata ada pejabat di Sumba yang menjual tanah itu tahun 1994 seluas 10 hektar kemudian diperluas lagi tahun 2012 seluas 41 hektar dengan harga Rp 3.000 per meter. Proses jual-beli ini pun tanpa diketahui masyarakat.
Koordinator Lapangan Yayasan Perkumpulan Inisiatif dan Advokasi HAM NTT Paul Sinlaenloe mengatakan, kasus serupa terjadi di Lewoleba, Lembata, tahun 2015. Seorang petani, Laurens Wadu (56), tewas dibunuh orang tak dikenal di ladang pisangnya setelah berjuang menolak pembangunan fasilitas perhotelan oleh Pemkab Lembata di lokasi itu.
Kasus kematian Wadu pun sampai hari ini tidak pernah terungkap. Polisi menangkap dua orang sebagai saksi, tetapi kemudian dilepas karena tidak ada bukti cukup.
Kematian Paulus Usnaat (54), tukang batu di Polsek Nunpene, Timor Tengah Utara, NTT, tahun 2009 juga demikian. Lima orang ditangkap polisi dan diproses di pengadilan, tetapi ketua DPRD saat itu yang telah disebutkan dalam pengadilan oleh kelima terdakwa sebagai otak di balik kasus itu tidak diproses hukum.
Selain itu, kasus perdagangan manusia NTT ke Malaysia sebagai TKI ilegal begitu marak, tetapi penanganan tidak pernah tuntas. Jumlah TKI asal NTT yang meninggal di luar negeri setiap bulan berkisar 1-4 orang karena dianiaya, sakit, kecelakaan kerja, dan pembunuhan.
”Para calo ditangkap, tetapi sampai di pengadilan dibebaskan majelis hakim dengan berbagai alasan. Itu berarti tidak semua pengambil kebijakan di NTT memiliki visi dan misi yang sama dalam mencegah dan mengatasi masalah perdagangan manusia NTT,” kata Paul.
Kepala Bidang Humas Polda NTT Ajun Komisaris Besar Jo Bangun mengatakan, kasus penembakan Poro Duka masih dalam proses penyelidikan Polres Sumba Barat dan Polda NTT. Kasus ini membutuhkan waktu cukup untuk pendalaman termasuk meminta keterangan dari para saksi.
Jika sudah cukup bukti, akan dinaikkan ke tingkat penyidikan. Siapa pun pelaku penembakan itu tetap diproses. ”Tidak ada yang berupaya menutup-nutupi kasus ini,” kata Jo Bangun.