Menolak Lupa Kasus Munir
Kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir masih menjadi misteri.Di tengah kondisi itu, pembangunan gedung baru Museum HAM Omah Munir menjadi penegas tekad untuk merawat ingatan akan belum tuntasnya kasus itu.
Satu setengah dekade berlalu, auktor intelektualis di balik kasus terbunuhnya aktivis hak asasi manusia Munir masih misteri. Gaung desakan untuk mengusut tuntas kasus ini pun kian lirih terdengar. Di tengah kondisi itu, pembangunan gedung baru Museum Hak Asasi Manusia Omah Munir seolah menjadi penegas tekad untuk merawat ingatan akan belum tuntasnya kasus itu.
Di bawah sengatan matahari, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa meletakkan batu pertama pembangunan Museum Hak Asasi Manusia Omah Munir, Minggu (8/12/2019), di pinggir Kelurahan Sisir, Kota Batu, Jawa Timur.
Gedung yang dirancang memiliki tiga lantai, yang berdiri di lahan seluas 2.200 meter persegi tersebut, ditargetkan rampung dibangun dalam setahun ke depan. Gedng itu bakal menggantikan gedung museum yang lama di Jalan Bukit Berbunga, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Batu, yang berdiri sejak 2013.
Selama enam tahun terakhir, museum yang menempati rumah mendiang Munir itu dinilai terlalu sempit dan tidak representatif lagi dengan perkembangan. Rumah yang berada di lahan sekitar 250 meter persegi itu tidak mampu menampung koleksi, baik kasus maupun pembelajaran hak asasi manusia (HAM), serta pengunjung yang jumlahnya terus meningkat.
Mengambil konsep Omah Pepeling (Rumah Pengingat-Jawa), gedung baru itu merupakan hasil kerja sama Pemerintah Provinsi Jatim dan Pemerintah Kota Batu. Pemprov Jatim menanggung dana pembangunan lebih dari Rp 10 miliar, sedangkan Pemkot Batu sebagai pihak penyedia lahan. Adapun desain bangunan museum didapatkan dari hasil sayembara yang digelar 2018.
Omah Pepeling sendiri memiliki visi mengingatkan akan dua hal. Pertama, pelanggaran HAM masih bisa terjadi kapan pun dan kepada siapa saja. Kedua, perjuangan penegakan HAM masih dan bisa dilakukan oleh siapa saja yang peduli terhadap kemanusiaan.
”Berdirinya museum HAM ini merupakan kebersamaan membangun prinsip hak asasi manusia serta membangun pemelajaran literasi dan edukasi yang masif sebagai upaya memanggil memori untuk universalisme kemanusiaan,” ujar Khofifah.
Hadir pada kesempatan itu, antara lain istri mendiang Munir, Suciwati; Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik; Wakil Wali Kota Batu Punjul Santoso; seniman Butet Kartaredjasa; serta Ikatan Arsitek Indonesia wilayah Malang.
Tampak pula Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan sejumlah aktivis Komite Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Peletakan batu pertama dilakukan bertepatan dengan hari lahir Munir. Munir lahir di Malang 8 Desember 1965 dan meninggal pada 7 September 2014 akibat racun arsenik. Saat itu ia dalam penerbangan dari Singapura menuju Belanda dengan pesawat Garuda Indonesia.
Hingga 15 tahun kasus itu berlalu, auktor intelektual di balik kematiannya belum juga terungkap. Sejumlah upaya telah dilakukan, tetapi tidak juga berujung pada titik terang. Berbagai aksi dan tuntutan disuarakan untuk mengingatkan bahwa masih ada pekerjaan rumah yang belum rampung.
Pada 16 Oktober lalu, misalnya, di Malang, sejumlah elemen menggelar ajang pembacaan salinan dokumen hasil Tim Pencari Fakta (TPF). Salah satu isi dokumen yang dibacakan secara bergantian itu menyebut bahwa pembunuhan Munir dilakukan secara bermufakat.
TPF Munir dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004. Ditengarai, tim sudah melaporkan hal itu ke pemerintah pada Juni 2005. Namun, pemerintah justru tidak memiliki dokumen asli hasil TPF.
Proses berliku pun terjadi. Karena negara tidak segera membuka hasil TPF ke publik dengan alasan tidak menguasai dokumen asli, pada tahun 2016 Suciwati bersama Koalisi Keadilan untuk Munir mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP). Pada 10 Oktober 2016, KIP menyatakan dokumen itu terbuka untuk publik.
Alih-alih menuruti, Pemerintah justru balik menggugat putusan KIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hasilnya, PTUN menyatakan dokumen itu tidak bisa dibuka lagi kepada publik. Hal ini diperkuat putusan Mahkamah Agung.
Menurut Koordinator Kontras, Yati Andriyani, Rabu (16/10), di Malang, jika salinan dokumen TPF—yang dibacakan saat itu—dijadikan rujukan oleh Presiden, Presiden bisa mengambil langkah untuk mendorong kepolisian atau Jaksa Agung untuk membuat tim baru guna menindaklanjuti temuan fakta yang ada dalam dokumen itu.
Di luar TPF, proses hukum sempat menjerat Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda Indonesia. Dalam peninjauan kembali, Pollycarpus divonis 14 tahun. Vonis ini lebih rendah dari putusan MA 20 tahun. Pollycarpus akhirnya menghirup udara segar pada 28 Agustus 2018.
Selain Pollycarpus, ada juga Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan dan Sekretaris Pilot Airbus 330 Garuda Indonesia Ruhainil Aini yang diproses hukum. Indra dan Ruhainil masing-masing divonis 1 tahun.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2005 majelis hakim juga menyebut adanya komunikasi telepon antara Pollycarpus dan mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Purwoprandjono. Muchdi diproses hukum dalam perkara ini, namun divonis bebas pada 2008.
Usman Hamid mengatakan, jika ingin melanjutkan proses hukum kasus Munir, bisa dilakukan dengan membawa kembali terdakwa yang pernah dibebaskan dalam kasus munir ke MA dengan bukti baru. Atau dengan satu argumen hukum yang menunjukkan praktik pengadilan di Jakarta Selatan waktu itu salah dalam menerapkan hukum.
”Banyak saksi yang jelas-jelas mendukung bukti jaksa penuntut umum, tetapi kemudian mengubah kesaksiannya karena di bawah ancaman. Banyak saksi yang kemudian mencabut kesaksiannya, bahkan sejumlah saksi kunci tidak bisa hadir ke persidangan dengan alasan keamanan,” katanya.
Ketidakhadiran saksi, pencabutan keterangan saksi, dan perubahan keterangan saksi, menurut Usman, bukan berarti bukti itu tidak pernah ada. Saat itu, hakim tidak bisa menggunakan bukti karena saksi-saksi mengalami intimidasi.
”Dengan kata lain, jaksa dan kepolisian punya kewajiban untuk membuktikan kembali dengan memastikan bahwa para saksi punya perlindungan atau memastikan ke majelis hakim di tingkat yang lebih tinggi bahwa majelis hakim di pengadilan yang lebih rendah telah salah dalam menerapkan hukum,” ujarnya.
Sementara itu, Ahmad Taufan Damanik mengatakan, pihaknya telah bertemu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk membicarakan pelanggaran HAM berat dan ide pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, pertemuan itu belum spesifik membicarakan soal kasus Munir.
Menurut Taufan, hasil TPF tidak memasukkan kasus Munir dalam pelanggaran HAM berat. ”Nanti kita akan bicara lagi yang lain-lain (termasuk kasus Munir). Nanti ada pertemuan selanjutnya dengan Jaksa Agung, Menkopolhukam, lebih luas mengundang Menkumham, Mendagri, Panglima TNI, dan Kapolri,” katanya.
Semoga saja auktor intelektualis di balik kasus pembunuhan Munir segera terungkap dan pembelajaran mengenai HAM bisa lebih mengena dengan hadirnya gedung museum yang baru.