Pangkalan Militer di Niger Diserang Militan yang Terhubung NIIS, 71 Tentara Tewas
›
Pangkalan Militer di Niger...
Iklan
Pangkalan Militer di Niger Diserang Militan yang Terhubung NIIS, 71 Tentara Tewas
Sebuah pangkalan militer di Inates, sebuah desa bagian barat Niger, diserang oleh sekitar 100 militan, Selasa (10/12/2019), malam. Setidaknya 71 tentara terbunuh akibat serangan tersebut.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
NIAMEY, KAMIS — Sebuah pangkalan militer di Inates, sebuah desa bagian barat Niger, diserang oleh sekitar 100 militan, Selasa (10/12/2019) malam. Setidaknya 71 tentara terbunuh akibat serangan tersebut. Insiden ini menjadi serangan paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir.
Juru bicara militer Niger, Kolonel Boukar Hassan, melalui siaran televisi nasional, Rabu (11/12/2019), mengatakan, serangan mematikan itu terjadi di sebuah kamp militer terpencil dekat perbatasan Niger dan Mali. Ratusan militan menyerang kamp tersebut selama tiga jam.
”Pertempuran itu merupakan kekerasan yang jarang terjadi, (musuh) menggunakan peluru artileri dan kendaraan kamikaze. Setidaknya 71 tentara tewas, 12 tentara terluka, dan sejumlah tentara lainnya hilang. Sementara itu, sejumlah besar militan juga tewas,” kata Hassan.
Dua narasumber dari pihak keamanan Niger, dengan syarat anonim, mengatakan, sebanyak 30 tentara masih hilang.
Serangan itu terjadi di Inates, sebuah desa penggembalaan ternak di dekat tepi Sungai Niger. Desa itu terletak sekitar 200 kilometer dari ibu kota Niger, Niamey.
Selain menyerang tentara di Inates, para militan sebelumnya juga menyerang warga sipil pada bulan Mei dan Juli tahun ini. Akibatnya, 50 tentara dan dua kepala desa tewas. Sejak Juli 2019, ratusan warga mulai meninggalkan desa itu menuju Niamey atau kota-kota terdekat lainnya.
Para militan ini memiliki hubungan dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) serta kelompok teroris Al Qaeda. Mereka telah meningkatkan serangan mematikan di kawasan Sahel, Afrika Barat, tahun ini sehingga memiliki kesempatan untuk mengumpulkan senjata dan kendaraan. Padahal, sejumlah negara telah berkomitmen untuk melumpuhkan para militan ini.
Serangan di Inates menunjukkan perluasan serangan militan yang sebelumnya telah menyerang Mali dan Burkina Faso. Mali, yang telah melihat peningkatan serangan oleh militan, bahkan menutup beberapa kamp tentara terdepan yang terpencil dan rentan sebagai bagian dari reorganisasi.
Para militan tersebut memiliki hubungan dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) serta kelompok teroris Al Qaeda. Mereka telah meningkatkan serangan mematikan di kawasan Sahel, Afrika Barat, tahun ini.
Beberapa analis berpendapat, serangan mematikan terhadap pos-pos tentara memiliki tujuan yang lebih luas. Para militan tidak hanya ingin mencuri senjata, tetapi juga memperluas kendali wilayah tanah.
Kantor Kepresidenan Niger, melalui cuitan di Twitter, menyatakan, Presiden Niger Mahamadou Issoufou telah kembali ke Niger, Rabu (11/12/2019) malam, akibat insiden di Inates. Issoufou mempercepat kunjungannya ke Mesir.
Keterlibatan Perancis
Kamis (12/12/2019), Issoufou dan Presiden Perancis Emmanuel Macron sepakat untuk mengusulkan penundaan pertemuan tingkat tinggi G-5 Sahel dengan empat negara Afrika Barat lainnya hingga awal tahun 2020. Pertemuan ini awalnya akan berlangsung pekan depan.
Pertemuan tingkat tinggi tersebut merupakan upaya Perancis untuk mengatasi menguatnya sentimen anti-Perancis. Lima negara di Afrika Barat, antara lain Niger dan Mali, diundang untuk berbagi pandangan mengenai keberadaan pasukan Perancis di kawasan.
”Kami tidak tertarik pada wilayah ini selain untuk keamanan kami sendiri. Jika masalah ini tidak diselesaikan melalui kesepakatan dan klarifikasi komitmen, kami mulai bertanya-tanya dan memikirkan kembali posisi militer kami. Namun, penarikan pasukan Perancis dari wilayah itu tidak masuk dalam tawaran,” kata Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian dalam wawancara dengan surat kabar Le Monde.
Perancis merupakan bekas penguasa kolonial di kawasan Afrika Barat. Paris melakukan intervensi militer yang membuat militan lengser dari kekuasaan di sejumlah kota besar di bagian utara Mali. Operasi militer Perancis di Afrika Barat dan Afrika Tengah kini menjadi operasi militer terbesar di kawasan tersebut dengan melibatkan 4.500 tentara. (AP/REUTERS)