Persepsi bahwa investasi Indonesia tidak berkembang karena pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang masif, tak selalu benar. Yang terjadi justru sebaliknya.
Oleh
Riana A Ibrahim
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persepsi bahwa investasi Indonesia tak berkembang karena pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang masif, tak selalu benar. Pasalnya, justru komitmen yang kuat terhadap antikorupsi dan penegakan hukum menjadi daya tarik dan jaminan bagi investor berlomba-lomba masuk ke Indonesia.
Hal itu mengemuka dalam seminar ”Komitmen Antikorupsi untuk Investasi yang Lebih Baik”, yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam rangkaian Hari Antikorupsi Sedunia 2019, di Jakarta, Rabu (11/12/2019).
”Investasi di Indonesia sesungguhnya meningkat. Namun, imbal baliknya tak signifikan. Jadi, investasi cukup banyak, pertumbuhan ekominya hanya sekitar 5 persen. Karena praktik korupsi yang masih terus terjadi, dan bukan (karena) pemberantasan korupsi atau penegakan hukumnya seperti yang disebut, (terlalu kuat),” ujar ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Faisal Basri, dalam seminar tersebut.
Akibat korupsi, tambah Faisal, fondasi pembangunan menjadi rapuh karena tujuan dari praktik korupsi meraup segala sumber daya secara cepat dan sebanyak-banyaknya untuk memperkokoh cengkeraman politik kekuasaan dan memperbesar logistik.
Mereka ini yang akan terus berjaya di panggung politik. Karena itu, jangan biarkan kekuasaan bisnis dan politik bersatu, apalagi ditambah kekuasaan media. Selesai kita. Semoga saja Indonesia tetap selamat menjadi negara maju pada 2045 dan tidak digerayangi kepentingan tidak pantas.
”Mereka ini yang akan terus berjaya di panggung politik. Karena itu, jangan biarkan kekuasaan bisnis dan politik bersatu, apalagi ditambah kekuasaan media. Selesai kita. Semoga saja Indonesia tetap selamat menjadi negara maju pada 2045 dan tidak digerayangi kepentingan tidak pantas,” tutur Faisal.
Mengacu data World Development Indicators dari Bank Dunia pada 2018, Faisal membuktikan masuknya investasi ke Indonesia lebih tinggi dibandingkan ke negara ASEAN lainnya di luar Singapura. Namun, Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia skornya pada 2018 mencapai 38 atau lebih tinggi dari Thailand dan Filipina yang skornya 36, serta Vietnam yang skornya 33.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan, berdasarkan data Forum Ekonomi Dunia, faktor paling problematik dunia bisnis saat ini ialah investasi. ”Jadi, korupsi membahayakan investasi hingga stabilitas politik. Salah satunya karena pejabat publik yang masih minta extra payment. Kalau tidak diberikan, prosesnya bisa lama. Itu hambatan utama di Indonesia,” katanya.
Selain itu, persoalan ketidakpastian hukum dan penegakan hukum yang tak seragam menjadi masalah. Tumpang tindih aturan perlu diurai, tetapi bukan malah mengeliminasi substansi.
Jangan sederhanakan masalah dengan menghapus analisis dampak lingkungan, misalnya. Yang bermasalah itu tata kelolanya yang harus diperbaiki, bukan menghapus. Begitu juga dengan tumpang tindih (regulasi) ini perlu dilihat dan disinkronkan antarlembaga. Penegakan hukum juga bukan untuk menakuti agar bisa minta uang ekstra.
”Jangan sederhanakan masalah dengan menghapus analisis dampak lingkungan, misalnya. Yang bermasalah itu tata kelolanya yang harus diperbaiki, bukan menghapus. Begitu juga dengan tumpang tindih (regulasi) ini perlu dilihat dan disinkronkan antarlembaga. Penegakan hukum juga bukan untuk menakuti agar bisa minta uang ekstra,” tutur Laode.
Robert Klitgaard dari Claremont Graduate University, AS, menambahkan, suap atau bentuk korupsi yang penegakan hukumnya tak kuat, dalam jangka panjang justru membuat para investor tak mau lagi melirik Indonesia.
”Sekali lagi, korupsi itu hasil monopoli, diskresi, dan kurangnya akuntabilitas. Jika pemberantasan korupsinya dipangkas dengan alasan agar menarik dan memudahkan investasi, perlu diperhatikan lebih lanjut tujuannya apakah benar pembangunannya berpihak pada masyarakat,” kata Klitgaard.