Terperangkap di Teluk Jakarta, Dampak Buruk Sampah Plastik Makin Berlipat
›
Terperangkap di Teluk Jakarta,...
Iklan
Terperangkap di Teluk Jakarta, Dampak Buruk Sampah Plastik Makin Berlipat
Lokasi Teluk Jakarta menyebabkan arus laut hanya bolak-balik sehingga sampah, termasuk plastik, terus terperangkap di sana. Hal ini berarti konsentrasi sampah meningkat seiring waktu dan dampak buruk makin tinggi.
Oleh
J GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset yang mengonfirmasi bahwa sebagian besar jumlah sampah di Teluk Jakarta berjenis plastik makin menunjukkan betapa tidak sehatnya perairan di utara Ibu Kota ini, yang pada ujungnya mengancam kesehatan manusia. Apalagi, dari pemodelan-pemodelan yang ada, sampah plastik bakal terus terperangkap dan terkumpul di Teluk Jakarta.
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhammad Reza Cordova dan Intan Suci Nurhati, menulis, setiap hari rata-rata 97.098 buah sampah masuk ke Teluk Jakarta dari sembilan sungai, dengan bobot rata-rata 23 ton per hari. Dari jumlah tersebut, sekitar 59 persen merupakan sampah plastik (Scientific Reports, 10/12/2019).
Sementara itu, hasil riset sebelumnya yang ditulis Haifa H Jasmin dan kawan-kawan (Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis IPB University, April 2019), menginformasikan, kecepatan arus permukaan laut di Teluk Jakarta tergolong rendah, yaitu 0-4 meter per detik. Anggota tim penulis riset itu, Widodo S Pranowo, mengatakan, kondisi itu terjadi karena arus yang dominan di Teluk Jakarta adalah arus yang dibangkitkan oleh pasang dan surut.
”Karena arusnya hanya bolak-balik, material sampah akan tersangkut di pantai utara Jakarta, terjebak,” ucap Widodo yang juga peneliti pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kamis (12/12/2019).
Karena arusnya hanya bolak-balik, material sampah akan tersangkut di pantai utara Jakarta, terjebak.
Melalui riset yang telah dipublikasikan, ia bersama tim peneliti juga menyimulasikan kondisi arus laut setelah adanya pantai-pantai reklamasi yang terkait dengan program Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional (NCICD).
Hasilnya, mereka memperkirakan terjadi pendangkalan di sekitar pantai reklamasi sehingga kecepatan arus laut menurun di sana. ”Itu membuat sampah juga tersangkut di kanal-kanal antarpulau reklamasi serta di antara pulau reklamasi dengan daratan pantai utara,” ujar Widodo.
Jika seluruh 17 pantai reklamasi sudah terbangun sesuai rencana, jumlah sampah termasuk sampah plastik yang terjebak di kawasan Teluk Jakarta kemungkinan semakin banyak.
Bertumpuknya sampah di Teluk Jakarta memperbesar risiko lingkungan karena sampah plastik yang jumlahnya dominan bakal terurai menjadi plastik mikro.
Reza mengatakan, setidaknya ada tiga cara sampah plastik tercerai-berai menjadi plastik mikro, yaitu dengan adanya sinar ultraviolet matahari yang bakal memecah polimer plastik, dengan adanya gelombang atau arus di laut yang mengakibatkan sampah plastik teraduk-aduk, serta adanya bakteri pengurai plastik.
”Plastik mikro secara tidak langsung bisa menjadi pembawa polutan,” kata Reza. Polutan itu bisa berupa polutan organik hingga logam berat. Ia menjelaskan, plastik dan polutan organik layaknya magnet karena mudah menempel satu sama lain. Namun, keduanya juga mudah terlepas.
Adapun logam berat ”membonceng” dengan cara menempel pada bahan organik yang melekat ke plastik mikro atau menempel pada lapisan film bakteri yang hinggap di plastik mikro.
Adapun logam berat ”membonceng” dengan cara menempel pada bahan organik yang melekat ke plastik mikro atau menempel pada lapisan film bakteri yang hinggap di plastik mikro.
Masalahnya, rupa dan aroma plastik mikro mirip makanan bagi ikan sehingga hewan ini rentan mengonsumsinya. Polutan organik ataupun logam berat yang tadinya menempel pada plastik mikro kemudian bisa terserap oleh tubuh ikan.
Menurut Guru Besar Bidang Ekobiologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Etty Riani, kondisi itu meningkatkan risiko bagi biota laut di Teluk Jakarta, yang ujungnya bisa membahayakan manusia karena ada ikan dan biota lain yang dikonsumsi. Apalagi, dari hasil risetnya, kandungan logam berat di Teluk Jakarta saat ini sudah sangat tinggi. Paparan logam berat bisa memicu antara lain kanker, cacat bawaan, dan autisme.
Akumulasi logam berat Hg (merkuri), Cd (kadmium), Pb (timbal), Cr (krom), dan Sn (timah putih) dalam sedimen serta dalam biota, terutama kerang hijau, meningkat di Teluk Jakarta. Kandungan timbal dalam sedimen, misalnya, naik dari 63,73 mg/kg pada 2014 menjadi 78,78 mg/kg pada 2015 (Kompas, 25/2/2019).
Etty mencontohkan, galangan-galangan kapal di pesisir diduga berkontribusi pada peningkatan kandungan limbah timah di Teluk Jakarta lewat penggunaan cat anti-teritip (anti-fouling) mengandung timah yang diaplikasikan pada dasar kapal. Cat itu berfungsi mencegah kerusakan badan kapal akibat menempelnya organisme seperti teritip, kerang, kijing, dan siput. ”Padahal, Sn mengakibatkan salah satunya cacat bawaan pada embrio, termasuk embrio manusia,” ujarnya.