Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu lewat KKR diharapkan tidak menjadi sarana pemberian impunitas bagi pelanggar HAM tanpa memikirkan keadilan bagi korban dan pemenuhan hak mereka.
Oleh
Rini Kustiasih/M Ikhsan Mahar/Nina Susilo/Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mekanisme apa pun yang ditempuh oleh negara dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu seharusnya tidak mengabaikan perlindungan kepada hak-hak korban. Wacana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR yang saat ini digaungkan pemerintah pun harus diiringi kesadaran tersebut sehingga tidak menjadi mekanisme yang menegaskan impunitas.
Komite Pengarah/Steering Committee Southeast Asian Human Rights Studies Network (SEAHRN) Herlambang P Wiratraman mengatakan, mekanisme KKR mensyaratkan tidak hanya rekonsiliasi, sebagaimana yang dulu pernah digagas Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) melalui Dewan Kerukunan Nasional.
”Model rekonsiliasi semacam itu tidak hanya merawat impunitas, tetapi juga tidak jelas dasar hukumnya. Mekanisme itu justru menyakiti korban dan keluarganya,” kata Herlambang, Rabu (11/12/ 2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan, pemerintah berniat menghidupkan kembali KKR sebagai mekanisme penyelesaian kasus HAM masa lalu. Saat ini, menurut Mahfud, draf Rancangan Undang-Undang (UU) KKR sudah siap. ”Sudah lama (siap), sudah sepuluh tahun. Tinggal dibuka lagi. Cuma ngendap di kotak saja,” ujarnya.
Sudah lama (siap), sudah sepuluh tahun. Tinggal dibuka lagi. Cuma mengendap di kotak saja.
Menurut Herlambang, persoalan KKR tidak semata terkait substansi perundang-undangannya, tetapi juga berkaitan dengan komitmen pemerintah secara menyeluruh. Sebab, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM itu soal komitmen politik, bukan sekadar terbitnya UU. Soal ini bisa diketahui dengan melakukan refleksi terhadap instrumen hukum yang sudah ada saat ini.
”Kita punya instrumen hukum, yakni UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, instrumen hukum tersebut selama ini tidak digunakan sebagai upaya penyelesaian persoalan HAM secara sungguh-sungguh. Hal ini terbukti dari ’ping-pong’ berkas penyelidikan tujuh kasus pelanggaran HAM berat, antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung RI,” tuturnya.
Kedua, presiden dan DPR harus menunjukkan komitmen politiknya mengingat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat memerlukan komitmen politik kuat dari penyelenggara kekuasaan negara.
”Wacana menggulirkan UU KKR diharapkan menjadi mekanisme yang memperkuat standar dan mekanisme nasional dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, harus diperhatikan pula kepentingan korban dan rasa keadilan mereka,” tutur Herlambang.
Pertama, untuk mewujudkan hal itu, pembahasan UU KKR harus dilakukan secara terbuka dengan melibatkan Komnas HAM, Komnas Perempuan, para korban, peneliti, dan mereka yang selama ini bekerja penuh dedikasi untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Kedua, prosesnya tidak terlalu lama mengingat urgensi dari situasi korban dan keluarga korban yang semakin tua, bahkan sebagian dari mereka telah meninggal sehingga pendekatan berbasis korban menjadi kunci untuk mengawal UU KKR.
Ketiga, semua pihak yang terlibat harus diberi perlindungan hukum maksimal oleh negara. Tidak boleh sedikit pun ada teror atau intimidasi atas proses hukum KKR yang diupayakan. Jaminan rasa aman dan kesediaan penyelenggara negara menjaga inisiatif menjadi kunci pencapaian tujuan dari KKR tersebut. Hormati prinsip KKR.
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani mengingatkan, KKR tidak hanya menyangkut pemaafan dan membangun kerukunan. Sebab, ada prinsip-prinsip yang berlaku universal dalam pembentukan KKR tersebut.
Penyelesaian melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi bukan berarti sekadar memaafkan tanpa melalui proses hukum di pengadilan. KKR itu memiliki tiga prinsip, yakni pengungkapan kebenaran dan pengakuan, memastikan keadilan bagi korban, dan pemulihan hak-hak korban.
Keberadaan KKR juga bukan berarti meniadakan proses yudisial. ”Penyelesaian melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi bukan berarti sekadar memaafkan tanpa melalui proses hukum di pengadilan. KKR itu memiliki tiga prinsip, yakni pengungkapan kebenaran dan pengakuan, memastikan keadilan bagi korban, dan pemulihan hak-hak korban,” kata Yati.
Tiga prinsip itu tidak dapat dipisahkan atau saling meniadakan karena sifatnya komplementer. Dengan alasan itulah, kerangka pembentukan dan substansi UU KKR perlu diketahui. UU KKR diharapkan tidak menjadi celah bagi upaya rekonsiliasi yang tidak memberikan keadilan bagi korban, tetapi malah jadi sarana cuci tangan pelaku pelanggar HAM. Apabila hal itu yang terjadi, UU KKR hanya akan memperpanjang impunitas dalam penegakan HAM di Tanah Air.
Hal senada diungkapkan anggota Komnas HAM, Choirul Anam. Ia mengatakan, pada praktiknya pemenuhan prinsip-prinsip dalam KKR tidaklah mudah. Salah satunya ialah prinsip pengakuan dan pengungkapan kebenaran. Apakah prinsip itu bisa diterima dan dilakukan oleh pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu, sementara pada kenyataannya masih ada bagian dari orang-orang yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM yang saat ini berkuasa.
Ia pun mengingatkan, UU Pengadilan HAM sebenarnya telah menyediakan ruang bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui Pengadilan HAM ad hoc. Namun, hingga saat ini hal itu belum diterapkan.
Sementara itu, Kejaksaan Agung memastikan komitmennya untuk merampungkan penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kejaksaan saat ini masih fokus mengamati perkembangan penyelidikan 12 kasus HAM masa lalu, terutama berkaitan dengan pengumpulan alat bukti.
”Kami berkomitmen untuk itu. Selama alat bukti memadai, kami akan terus jalan. Sebab, kami harus membawa alat bukti yang kuat dalam proses penuntutan di pengadilan agar nanti tidak justru penegak hukum yang dianggap melanggar HAM,” ujar Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman.
Menurut dia, pihaknya telah berkoordinasi dengan Komnas HAM dan disepakati tindak lanjut penyelidikan kasus HAM, terutama untuk mengumpulkan alat bukti.