Butuh Kolaborasi Wujudkan Pemenuhan Akses Air Bersih dan Sanitasi
›
Butuh Kolaborasi Wujudkan...
Iklan
Butuh Kolaborasi Wujudkan Pemenuhan Akses Air Bersih dan Sanitasi
Kawasan perdesaan membutuhkan percepatan pembangunan sanitasi. Percepatan ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemenuhan akses air bersih dan sanitasi membutuhkan percepatan hingga ke kawasan perdesaan. Namun, hal itu tak bisa dikerjakan sendiri oleh pemerintah, tetapi dibutuhkan juga kolaborasi dari masyarakat. Dari sini, masyarakat diharapkan mau membangun sistem penyediaan air minum dan sanitasi secara mandiri melalui skema kredit.
Sejauh ini, kondisi cakupan area air bersih dan sanitasi secara nasional masih jauh dari yang diharapkan. Padahal, pemenuhan akses air bersih sangat dibutuhkan karena juga menyangkut sanitasi lingkungan.
”Yang bisa kita lakukan untuk universal akses air bersih dan sanitasi, ya, kolaborasi. Pemerintah memang punya kewajiban, tetapi kalau semua diserahkan (kepada) pemerintah, ya, butuh puluhan tahun. Sebab, kebutuhan dananya banyak sekali,” ujar Chief Representative Water.org Indonesia Rachmad Hidayad dalam konferensi pers ”Usaha Pencapaian Universal Akses Air Minum dan Sanitasi di Indonesia” di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (13/12/2019).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017, secara nasional, dari 225 juta penduduk, sebesar 27,96 persen belum mendapatkan akses terhadap air bersih dan 32,11 persen masih belum memiliki akses sanitasi.
Untuk bisa menekan angka tersebut, menurut Rachmad, dengan mengutip data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dibutuhkan dana lebih dari Rp 500 triliun. Rinciannya, untuk sanitasi Rp 275 triliun dan air bersih Rp 272 triliun.
Namun, dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya bisa memayungi sekitar 15 persen dari dana yang dibutuhkan bagi sanitasi dan 30 persen dari kebutuhan pemenuhan air bersih.
Karena itu, lanjut Rachmad, perlu dipikirkan pembangunan sistem penyediaan air minum dan sanitasi (SPAMS) yang diinisiasi oleh warga secara mandiri. Dengan begitu, masyarakat bisa segera memiliki akses air bersih yang berkelanjutan dan tidak lagi menggunakan sumur bor pribadi.
”Tiap tahun, masyarakat yang belum mendapat akses air bersih, kan, saling beradu, bikin paling dalam sumur bor. Jadi, tak ada sustainability (keberlanjutan) dari air tanah. Tetapi, kalau dengan SPAMS, air tanah bisa lebih aman,” tutur Rachmad.
Mulai 2016, Danone-Aqua telah berkolaborasi dengan Water.org untuk mendampingi warga dalam proses pembiayaan pembangunan akses air dan sanitasi atau skema pembiayaan air minum dan sanitasi (PAMDS/water credit).
Kolaborasi dijalankan melalui kredit mikro dari lembaga keuangan, dalam hal ini PT Bank Perkreditan Rakyat-Bank Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Jawa Timur.
Produk keuangan berupa pinjaman ini ditujukan bagi kelompok pengelola sistem penyediaan air minum (KPSPAM) di Jawa Timur agar mereka dapat mengembangkan cakupan layanan air bersih dan sanitasi di kawasannya.
Rachmad menjelaskan, Danone-Aqua dan Water.org memberikan pendampingan kepada KPSPAM agar mendapatkan akses permodalan. Pendampingan tersebut berupa pengetahuan bagi KPSPAM terkait rencana bisnis untuk mengajukan pembiayaan pada lembaga keuangan.
Rencana bisnis itu meliputi profil kelompok SPAMS, laporan keuangan tiga bulan terakhir, forecast (prediksi) pendapatan selama satu dan dua tahun ke depan, proyeksi sambungan rumah baru, serta rencana anggaran biaya kebutuhan investasi.
”Dokumen tersebut membantu lembaga keuangan ketika melakukan appraisal (penilaian). Kan, kalau mau pinjam ke lembaga keuangan harus punya perencanaan. Kami berikan pengetahuan pada kelompok itu,” katanya.
Water Access Manager Danone Indonesia Okta Fitrianos menambahkan, model seperti ini akan mendorong kemandirian masyarakat demi pemenuhan akses air dan sanitasi di lingkungannya. Dengan begitu, masyarakat tak lagi menjadi bergantung kepada pemerintah.
”Model water credit adalah model baru yang inovatif untuk percepatan target universal akses air bersih dan sanitasi di Jawa Timur, bahkan nasional. Kami harap model ini bisa tersosialisasikan dengan baik,” ucap Okta.
Direktur Utama Bank UMKM Jawa Timur Yudhi Wahyu Maharani mengatakan, penyaluran pinjaman pada KPSPAM baru efektif tiga bulan terakhir ini. Dalam tiga bulan tersebut, dia menyebutkan, total penyaluran pendanaan Rp 836 juta.
Dana tersebut disalurkan kepada 50 debitor atau kelompok yang mengajukan kredit. Kelompok-kelompok tersebut tersebar di 17 kabupaten/kota di Jawa Timur. Daerah serapan pinjaman tersebut sudah hampir mencapai 50 persen dari jumlah total kabupaten/kota di Jawa Timur yang mencapai 38 kabupaten/kota.
Yudhi menargetkan tahun depan pembiayaan usaha air bersih ini bisa menembus Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar. ”Kalau Bank UMKM sendiri langsung ke (pangsa) pasar (kredit), pasti lambat. Tetapi, dengan sinergi (Danone-Aqua dan Water.org) ini, penyaluran pinjaman bisa ada percepatan,” ucap Yudhi.
Desa Sekapuk, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, menjadi salah satu desa yang mendapatkan penyaluran pinjaman pendanaan. Kepala Desa Sekapuk Abdul Halim menuturkan, dengan skema pendanaan itu, warga desanya kini sudah bisa menikmati akses air bersih. Perbankan memberikan pinjaman kepada KPSPAM, dalam hal ini badan usaha milik desa (BUMDes). Lalu, dana tersebut digunakan oleh BUMDes untuk membangun saluran air rumah tangga yang biayanya Rp 700.000 per jaringan.
”Warga yang berminat untuk memasang jaringan tersebut bisa mengangsur biaya pemasangan ke BUMDes,” ujar Abdul. Sebelumnya, katanya, warga selalu menimba air dari sumur atau membuat sumur bor sendiri sehingga biaya dan tenaga yang dikeluarkan pun lebih besar.
Hal tersebut diakui oleh warga RT 002 RW 004 Desa Sekapuk, Wirnoyo (36). Dulu, sebelum ada SPAMS, keluarganya selalu menimba air sumur. Dia juga tak ingin membangun sumur bor sendiri karena biayanya mahal, sekitar Rp 5 juta. ”Itu saja belum sama mesinnya. Pakai SPAMS ini malah semburan airnya lebih kencang,” ujar Wirnoyo.