”Exit Poll”: Konservatif Menang Besar di Pemilu Inggris
›
”Exit Poll”: Konservatif...
Iklan
”Exit Poll”: Konservatif Menang Besar di Pemilu Inggris
Jajak pendapat selepas pemungutan suara (”exit poll”) memprakirakan Konservatif meraih 368 dari 650 kursi DPR Inggris. Raihan itu lebih banyak 42 kursi dari kebutuhan minimal 326 kursi untuk menjadi mayoritas di DPR.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
LONDON, JUMAT — Partai Konservatif yang dipimpin Perdana Menteri Inggris Boris Johnson diprakirakan menang besar di pemilu Inggris, Kamis (12/12/2019). Oposisi terkuat, Partai Buruh, kehilangan suara di beberapa basis tradisionalnya.
Jajak pendapat selepas pemungutan suara (exit poll) memprakirakan Konservatif meraih 368 dari 650 kursi DPR Inggris. Raihan itu lebih banyak 42 kursi dari kebutuhan minimal 326 kursi untuk menjadi mayoritas di DPR Inggris Raya. Raihan itu juga menunjukkan lonjakan dukungan kepada Konservatif dibanding pada pemilu 2017. Kala itu, Konservatif meraih 318 kursi.
Sebaliknya, Buruh diprakirakan hanya mendapat 191 kursi atau berkurang 70 kursi dibanding raihan 2017. Raihan 2019 menjadi penampilan terburuk Buruh sejak 1935. Kekalahan itu juga diikuti kehilangan beberapa daerah pemilihan (dapil) yang selama ini dimenangi Buruh. Partai itu, antara lain, kehilangan dapil Darlington di Durham, Workington di Cumbria, dan Blyth Valley di Nothumberland.
Tempat pemungutan suara pemilu Inggris ditutup pada Kamis pukul 22.00 waktu London atau Jumat pukul 05.00 WIB. Sementara surat suara mulai dihitung pada pukul 06.00 WIB. Hasil akhir tidak resmi diprakirakan bisa diketahui pada Jumat pukul 20.00 WIB.
Hingga pukul 09.00 WIB, sudah 105 kursi dihitung dan Konservatif meraih 48 kursi. Sementara Buruh menyusul dengan 46 kursi. Sisanya ke partai lain.
Dalam hitung cepat yang disiarkan BBC dan The Guardian, partai nasional Irlandia, Sinn Fein, mempertahankan raihan 7 kursi. Walakin, seperti dilakukan sejak 1917, Sinn Fein tidak akan menduduki kursi di DPR Inggris. Hal itu merupakan sikap politik Sinn Fein yang menetapkan penarikan kader dari parlemen Inggris sebagai bentuk perjuangan mendirikan Republik Irlandia Utara.
Akurat
Jajak pendapat selepas pemungutan suara sudah digelar di Inggris sejak pemilu 1970. Dalam pemilu 2015 dan 2017, hasil exit poll hanya selisih kurang dari lima kursi dibanding hasil resmi.
David Firth, pakar statistik Universitas Warwick dan ikut mengembangkan metode exit poll masa kini, mengatakan bahwa exit poll pemilu Inggris biasanya akurat. Hal itu teruji sejak lima pemilu sebelum pemilu 2019.
Walakin, para penyelenggara jajak pendapat mengingatkan bahwa hasil resmi tetap jadi patokan. Jajak pendapat selepas pemungutan suara punya satu pemicu ketidakpastian, yakni pemilih lewat pos.
Dalam pemilu 2017, sebanyak 21,6 persen pemilih menggunakan hak pilih lewat pos. Dengan kata lain, 10,1 juta dari 46,8 juta pemilih terdaftar di pemilu 2017 memilih lewat pos. Jumlah pemilih lewat pos diprakirakan tetap tinggi pada pemilu 2019 ini.
Meski baru perkiraan, para politisi Inggris menyikapi hasil exit poll selayaknya hasil resmi. Sejumlah calon anggota DPR dari Buruh telah mengakui kekalahan di pemilu 2019. Mereka menyatakan hal itu setelah melihat hasil exit poll dan proses penghitungan suara.
Para pengurus dan kader Buruh menyalahkan ketua partai itu, Jeremy Corbyn, sebagai pemicu kekalahan. Salah satu pengurus, Ian Lavery, menyebut Corbyn salah karena menawarkan referendum kedua soal proses keluar Inggris dari Uni Eropa atau Brexit.
”Kita menyaksikan orang-orang di dapil Buruh marah karena partai bertindak tidak sesuai keinginan mereka soal Brexit. Ada 17,4 juta orang memilih Brexit dan semua diabaikan (dengan tawaran referendum kedua). Masalahnya adalah tawaran itu, bukan Corbyn,” ujarnya kepada BBC. (AP)