Pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak dasar warganya. Namun kenyataannya, standar pelayanan minimum yang diwajibkan kepada seluruh perangkat pemerintah daerah belum berjalan 100 persen.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen pemerintah daerah terhadap pemerataan akses adalah kunci menaikkan mutu layanan dasar di kehidupan masyarakat. Hanya dengan pengentasan kesenjangan dari sistem pelayanan masyarakat Indeks Pembangunan Indonesia bisa meningkat secara riil.
Direktur Eksekutif Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng di Jakarta, Rabu (11/12/2019), mengatakan, standar pelayanan minimum yang diwajibkan kepada seluruh perangkat pemerintah daerah belum berjalan 100 persen. Hal tersebut amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otda. Keberadaan undang-undang ini adalah agar perbaikan kehidupan di daerah tidak menunggu perintah dari pusat dan setiap wilayah bisa mengembangkan sistem masing-masing berdasarkan visi nasional.
Standar pelayanan minimum yang diwajibkan kepada seluruh perangkat pemerintah daerah belum berjalan 100 persen.
"Ironisnya, kita malah memberi penghargaan kepada kepala daerah berkinerja baik. Padahal, itu kewajiban pemda memenuhi hak-hak dasar warganya," ujarnya.
Ia mengutarakan, UU Otda juga membahas bahwa pemerintah pusat bisa meminta pertanggungjawaban daerah terkait pemakaian Dana Alokasi Khusus (DAK) Pasalnya, kerap kali tidak ada kejelasan laporan penggunaan DAK memang untuk menyelesaikan masalah pemberian akses dan layanan di berbagai bidang.
Pada tanggal 10 Desember 2019 Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) meluncurkan Indeks Pembangunan Manusia 2018. Indonesia secara agregat memperoleh IPM 0,707 dan resmi masuk ke kelompok negara dengan indeks yang tinggi. Akan tetapi, ditilik lebih lanjut, kesenjangan masih terjadi di sektor pendidikan, teknologi, pendapatan per kapita, dan ketahanan terhadap bencana.
Kepala Perwakilan UNDP Indonesia Christophe Bahuet menyoroti belum tercapainya pelaksanaan wajib belajar 12 tahun. Akibatnya, jumlah penduduk Indonesia yang melanjutkan ke pendidikan tinggi, baik berupa universitas, politeknik, dan akademi sangat kecil. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2017 menyebutkan hanya 33,4 persen penduduk Indonesia usia 19-34 tahun yang duduk di bangku kuliah. Mayoritas berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas.
Fenomena tersebut, menurut Robert, merupakan contoh dari belum tercapainya kinerja pemerintah daerah untuk memastikan segala lini pelayanan masyarakat terpenuhi. Di sektor pendidikan misalnya, harus ada pertanggungjawaban laporan jumlah sekolah dan ruang kelas yang benar digunakan untuk pemelajaran dan jumlah siswa yang menerima manfaat. Selain itu, juga ada pemastian semua anak usia sekolah memang menerima pendidikan yang bisa dipilih berupa formal, nonformal, dan informal.
"Amanat Undang-Undang Dasar 1945 menyuruh pemerintah daerah mengalokasikan 20 persen anggaran untuk pendidikan, tetapi tidak dilakukan. Hal ini bisa digugat dan diberi sanksi," tutur Robert.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Supriano mengutarakan masalah serupa. Salah satu penghambat naiknya mutu pendidikan adalah persebaran guru dan bobot kualitas pemelajaran yang mereka berikan kepada siswa.
Salah satu penghambat naiknya mutu pendidikan adalah persebaran guru dan bobot kualitas pemelajaran yang mereka berikan kepada siswa.
Guru merupakan pegawai pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, seyogianya pemerataan persebaran ada di tangan pemerintah daerah. Kebijakan aturan mungkin datang dari pusat, tetapi pelaksanaannya tetap daerah yang paling tahu kebutuhan masing-masing. Harus ada sikap proaktif, termasuk dalam menyelenggarakan evaluasi mutu pemelajaran dan peningkatan kompetensi guru.
Rawan bencana
Mutu pendidikan juga sangat ditentukan dengan perlindungan dari ancaman bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana memetakan setidaknya ada 37.408 sekolah yang terpapar risiko bencana letusan gunung api, banjir, tsunami, gempa, dan tanah longsor. Bahkan, ada 2.892 sekolah yang berada 500 meter dari radius patahan gempa.
Pada Januari, para ahli geografi bertemu di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta merumuskan imbauan kepada pemerintah agar pendidikan kebencanaan diajarkan di sekolah. Materi bisa dimasukkan ke muatan lokal. Naskah akademiknya kemudian diberikan kepada Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemdikbud. Materi kebencanaan ialah mengenali risiko bencana di wilayah masing-masing dan cara mitigasi yang bisa dilakukan masyarakat.
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Negeri Jakarta Muhammad Zid yang juga salah satu perumus naskah mengatakan, hingga kini respons pemerintah daerah belum terasa. Pendekatan yang dilakukan sifatnya masih reaktif, yaitu baru bergerak ketika bencana telah terjadi. Pencegahan dan meminimalisir risiko belum menjadi kebutuhan.