Permasalahan data yang tidak sesuai pada peserta penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat sudah lama dipertanyakan, tetapi sampai hampir enam tahun program ini berjalan belum juga tuntas.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat pada segmen peserta bukan penerima upah dan bukan pekerja atau peserta mandiri mulai berlaku pada 1 Januari 2020. Keputusan ini masih menuai polemik, terutama kenaikan pada segmen peserta mandiri kelas III.
Rapat dengar pendapat Komisi IX DPR dengan Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang berlangsung Kamis (12/12/2019) akhirnya menyepakati, selisih kenaikan iuran peserta mandiri kelas III dibayar dengan surplus iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang didapatkan pada 2020. Artinya, tidak ada kenaikan iuran pada segmen peserta mandiri kelas III.
Namun, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan, keputusan ini justru bisa bertentangan dengan Peraturan Presiden No 75/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan mengatur penyesuaian iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Jumlah iuran yang seharusnya bisa dihimpun dari penyesuaian itu bisa tidak tercapai jika keputusan dalam rapat dengar pendapat Komisi IX DPR dilaksanakan.
”Setelah peraturan presiden berlaku, seharusnya potensi iuran yang dihimpun dari peserta PBI mencapai Rp 48,7 triliun. Jika harus digunakan untuk menutupi selisih kenaikan di kelas III mandiri sekitar Rp 3,9 triliun, potensi itu tidak akan tercapai,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Perbaikan data
Menurut dia, solusi fundamental yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah membenahi data peserta PBI yang bermasalah. Sebelumnya, Komisi IX DPR mendesak penundaan kenaikan iuran peserta JKN-KIS karena masih ada kesalahan inklusi dan eksklusi (inclusion and exclusion error)dalam data peserta PBI yang iurannya ditanggung oleh pemerintah.
Kesalahan pendataan ini mengakibatkan masih ada masyarakat yang tidak mampu ternyata belum masuk sebagai peserta PBI. Sebaliknya, peserta yang mampu justru masuk sebagai peserta PBI.
”Seharusnya pembersihan data ini yang dilakukan pemerintah. Jadi, jika iuran peserta mandiri kelas III dinaikkan, tidak akan menjadi masalah karena semua masyarakat tidak mampu sudah masuk sebagai peserta PBI,” ujarnya.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sebenarnya telah memberikan alternatif lain sebagai solusi atas keputusan kenaikan iuran peserta JKN-KIS, terutama pada segmen peserta mandiri kelas III. Alternatif ini menyatakan, data PBI akan diintegrasikan dengan data terpadu program kesejahteraan sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial.
”Terdapat data PBI non-DTKS sejumlah 30.620.052 jiwa yang akan dinonaktifkan oleh Menteri Sosial. Rencana penonaktifan data PBI tersebut dapat dimanfaatkan oleh peserta PBPU (peserta bukan penerima upah) dan BP (bukan pekerja) kelas III yang saat ini berjumlah 19.961.569 jiwa,” katanya.
Meski begitu, alternatif ini tidak dipilih dari musyawarah antara Menteri Kesehatan, Direktur Utama BPJS Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional karena penyesuaian data membutuhkan waktu yang cukup lama. Sementara peraturan presiden terkait penyesuaian iuran mulai berlaku pada 1 Januari 2020.
Timboel berpendapat, kondisi tersebut dapat menunjukkan bahwa komitmen pemerintah untuk membenahi persoalan dasar program JKN-KIS masih lemah. Permasalahan data yang tidak sesuai pada peserta PBI sudah lama dipertanyakan, tetapi sampai hampir enam tahun program ini berjalan belum juga tuntas.
Layanan dasar
Secara terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih menuturkan, masalah lain yang juga harus diatur untuk memastikan keberlanjutan program JKN-KIS adalah redefinisi dari kebutuhan dasar kesehatan. Saat ini, definisi tersebut belum ada.
Pasal 19 Ayat (2) UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional berbunyi, jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
”Definisi kebutuhan dasar kesehatan ini belum ada, jadi semua layanan dibayarkan tidak terbatas, sementara biaya yang dimiliki terbatas,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Daeng mengatakan, PB IDI bersama sejumlah organisasi profesi terkait kesehatan lainnya akan segera mengkaji kebutuhan dasar kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kebutuhan dasar ini dipastikan tidak akan mengurangi standar layanan kesehatan yang diberikan. ”Targetnya tahun depan selesai,” ucapnya.