Perdagangan Dunia Memanas, Indonesia Kuatkan Pengamanan
›
Perdagangan Dunia Memanas,...
Iklan
Perdagangan Dunia Memanas, Indonesia Kuatkan Pengamanan
Nilai perdagangan yang terdampak kebijakan penghambat impor dari sejumlah negara melonjak. Hal ini menjadi alarm bagi Indonesia untuk menguatkan strategi pengamanan perdagangan nasional.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai perdagangan yang terdampak kebijakan penghambat impor dari sejumlah negara melonjak. Hal ini menjadi alarm bagi Indonesia, salah satu negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), untuk menguatkan strategi pengamanan perdagangan nasional.
Berdasarkan laporan WTO, nilai perdagangan negara-negara anggota WTO yang terdampak kebijakan penghambat impor melonjak hingga 747 miliar dollar Amerika Serikat (AS) pada periode Oktober 2018-Oktober 2019. Pada periode Oktober 2017-Oktober 2018, nilai perdagangannya mencapai 588 miliar dollar AS.
Laporan WTO tersebut mengemuka dalam pertemuan evaluasi tahunan yang diselenggarakan oleh Trade Policy Review Body. Hasil dari pertemuan itu dipublikasikan pada Kamis (12/12/2019) waktu setempat.
Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati menyatakan, pemerintah tengah menguatkan strategi pengamanan perdagangan.
”Melonjaknya nilai tersebut menandakan proteksionisme perdagangan dunia kian meningkat,” katanya saat dihubungi, Jumat (13/12/2019).
Pradnyawati menuturkan, strategi yang bersifat eksternal berorientasi pada pembelaan produk Indonesia baik di tingkat bilateral, regional, maupun multilateral. Apabila diperlukan, pemerintah akan menempuh jalur hukum, yakni litigasi di Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO.
Secara internal, pemerintah tengah memperbaiki kebijakan-kebijakan yang berpotensi tak sejalan dengan aturan dan ketentuan WTO. Standar Nasional Indonesia untuk produk-produk manufaktur.
Khusus untuk produk pertanian dalam negeri, Pradnyawati mengatakan, pemerintah akan memberikan perlindungan melalui kebijakan yang tidak melanggar aturan WTO. Contohnya, bea keluar, pajak ekspor, dan tarif bea masuk yang sesuai dengan bound tariff.
Sepanjang Januari-Oktober 2019, Badan Pusat Statistik mendata, neraca perdagangan nasional mengalami defisit 1,79 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Defisit ini berasal dari ekspor yang senilai 139,10 miliar dollar AS dan impor 140,89 miliar dollar AS.
Laporan WTO yang sama mendata, Indonesia paling banyak mendapatkan hambatan ekspor dari Uni Eropa. Contohnya, pengenaan bea masuk antisubsidi pada produk biodiesel Indonesia sebesar 8-18 persen yang berlaku sejak Agustus 2019.
Mencederai pertumbuhan
Sementara itu, Director-General WTO Roberto Azevêdo menyoroti nilai perdagangan yang terdampak kebijakan penghambat impor karena tergolong tinggi sepanjang sejarah.
”Hambatan impor yang setinggi ini dapat mencederai pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan daya beli dunia. Kepemimpinan kolektif yang kuat dari negara-negara anggota akan berdampak strategis pada peningkatan kepastian investasi dan perdagangan serta pertumbuhan ekonomi,” tuturnya melalui siaran pers yang diterima Kamis malam.
Selain itu, laporan WTO juga menunjukkan adanya peningkatan nilai perdagangan yang terdampak kebijakan fasilitasi impor. Nilainya naik dari 296 miliar dollar AS (Oktober 2017-Oktober 2018) menjadi 545 miliar dollar AS (Oktober 2018-2019).
Nilai ini lebih rendah dibandingkan yang terdampak kebijakan penghambat impor. Padahal, pada Oktober 2018-Oktober 2019, jumlah kebijakan fasilitasi impor mencapai 120 aturan, sedangkan kebijakan penghambat impor 102 aturan.
Menangi sengketa
Terkait dengan penyelesaian sengketa perdagangan, Indonesia pada pekan lalu berhasil memenangi kasus di tingkat panel persengketaan WTO. WTO memenangkan gugatan yang diajukan Indonesia terhadap pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) oleh Australia pada produk A4 Copy Paper.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengharapkan putusan dan rekomendasi dari Panel Sengketa WTO tersebut dapat meminimalisasi tuduhan serupa ke depannya. ”Kemenangan atas sengketa ini sangat penting, mengingat dampak sistemiknya terhadap tuduhan dumping dari negara lain,” katanya.
Sengketa terhadap produk kertas itu berlangsung sejak 2017. Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Perdagangan, nilai ekspor kertas tersebut menurun dari 34 juta dollar AS pada 2016 menjadi 12 juta dollar AS akibat pengenaan BMAD oleh Australia sebesar 12,6-38,6 persen.