Sosialisasi Batas Usia Perkawinan 19 Tahun Harus Masif
›
Sosialisasi Batas Usia...
Iklan
Sosialisasi Batas Usia Perkawinan 19 Tahun Harus Masif
Anak-anak muda harus dilibatkan untuk mendukung upaya pencegahan perkawinan anak yang hingga kini masih terjadi di berbagai daerah.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menaikkan batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun harus disosialisasikan secara masif di berbagai tingkatan. Pelibatan anak-anak muda sangat penting untuk mendukung upaya pencegahan perkawinan anak yang hingga kini masih terjadi di berbagai daerah.
“Ruang partisipasi orang muda terutama perempuan dalam perumusan kebijakan pencegahan perkawinan anak di tingkat lokal perlu dibuka seluas-luasnya, untuk memastikan hak-haknya terpenuhi serta sejalan dengan prinsip-prinsip penegakan hak anak,” ujar Aditya Septiansyah, – Presidium Jaringan AKSI untuk Divisi Keterlibatan Remaja, pada acara Seminar dan Lokakarya “Analisis Situasi Sosial Politik Terkait Isu Perkawinan Anak” yang diselenggarakan oleh Jaringan AKSI di Jakarta, Kamis (12/12/2019).
Menurut Aditya, sejauh ini Jaringan AKSI yang terdiri dari sejumlah lembaga melihat di sejumlah daerah telah muncul berbagai kebijakan terkait pencegahan perkawinan anak. Akan tetapi karena prosesnya tidak melalui pelibatan lintas sektor, terutama anak dan remaja, langkah-langkah tersebut justru berimplikasi pada munculnya konten kebijakan yang merugikan anak dan remaja.
Karena itulah, Jaringan AKSI berkomitmen untuk mengadvokasikan pentingnya pelibatan anak dan remaja untuk meningkatkan sensitivitas pemangku kebijakan terkait hak anak terutama anak perempuan," ujar Aditya.
Hal senada ditegaskan Evie Permata Sari, Presidium Jaringan AKSI. Menurut Evie, peran serta semua pihak untuk melakukan sosialisasi terkait kenaikan batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan sangat penting. Karena hal tersebut merupakan langkah awal untuk menekan angka perkawinan anak.
“Kelompok anak utamanya anak perempuan menjadi yang paling terdampak ketika terjadinya perkawinan anak. Karena itu, seharusnya kelompok tersebut harus turut dilibatkan dalam setiap pembahasan dan penyusunan kebijakan, program, maupun anggaran terkait percegahan perkawinan anak dalam berbagai tingkatan,” katanya.
Kegiatan semiloka diisi dengan diskusi bertema “Urgensi Sinergitas dan Advokasi Pencegahan Perkawinan Anak di Tingkat Lokal” dan tema “Arah Kebijakan dan Strategi Pemerintah Periode 2019-2024 dalam Memastikan Pencegahan Perkawinan Anak. Sejumlah narasumber dihadirkan dalam acar tersebut.
Seminar Analisis Situasi Sosial Politik Terkait Isu Perkawinan Anak yang dilakukan di Jakarta oleh Jaringan AKSI bekerja sama dengan Unicef. Kegiatan ini berfokus pada pentingnya implementasi UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di berbagai tingkatan.
Salah satu bentuk implementasi yaitu dengan mendorong pemerintah daerah untuk membuat kebijakan, program, dan anggaran terkait pencegahan perkawinan anak dengan memastikan hak anak dan orang muda menjadi arus utama dan terintegrasi di dalamnya.
Menurut Evie, Jaringan AKSI yang telah aktif sejak 2016 dalam upaya pencegahan perkawinan anak dan berfokus pada penegakan hak remaja perempuan. Saat ini anggota Jaringan AKSI berjumlah 38 organisasi yang tersebar di berbagai wilayah dan berfokus pada isu perlindungan anak/remaja, perempuan, dan kesetaraan gender.