Setidaknya tujuh kecamatan di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, terendam banjir akibat meluapnya Sungai Batanghari, Jumat (13/12/2019). Satu anak balita meninggal dan ratusan keluarga terpaksa mengungsi.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Setidaknya tujuh kecamatan di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, terendam banjir akibat meluapnya Sungai Batanghari, Jumat (13/12/2019). Satu anak balita meninggal dan ratusan keluarga terpaksa mengungsi akibat kejadian ini.
Kepala Pelaksana BPBD Dharmasraya Edison mengatakan, pada Jumat malam, banjir di sejumlah titik ke arah hulu mulai surut. Namun, di kawasan arah ke hilir, air justru naik, seperti di Sitiung. Ratusan keluarga terpaksa mengungsi, baik di posko yang disediakan pemkab maupun secara mandiri.
”Sampai malam ini, di kawasan arah ke hilir, air masih naik. Air mulai deras naiknya pukul 10.00 tadi. Selain karena curah hujan (Kamis, 12/12) kemarin tinggi, juga ada air kiriman dari arah Solok Selatan,” kata Edison.
Empat kecamatan terdampak parah akibat banjir, yaitu IX Koto, Pulau Punjung, Sitiung, dan Timpeh. Selain itu, ada tiga kecamatan lain yang terdampak, seperti Padang Laweh, Koto Salak, dan Koto Besar, tetapi warga tidak sampai dievakuasi. Ketinggian banjir di dalam rumah sekitar 30 cm hingga lebih 3 meter.
Dalam kejadian itu, seorang anak usia tiga tahun di Kampung Surau, Nagari Gunung Selasih, Kecamatan Pulau Punjung, meninggal. Menurut Edison, sang anak luput dari pengawasan orangtuanya sehingga terseret oleh arus anak Sungai Batanghari.
Menurut Edison, banjir kali ini tergolong besar. Tahun-tahun sebelumnya banjir tidak separah ini. ”Berdasarkan riwayatnya, banjir seperti ini banjir musiman, sekali lima tahun. Kalau melihat periodenya, banjir besar semestinya tahun depan. Namun, ternyata datang tahun ini,” ujar Edison.
Wakil Bupati Amrizal Datuak Rajo Medan, Jumat siang, mengunjungi lokasi banjir di Pulau Punjung, seperti Pasar Lama, Pelayangan, dan Lubuk Bulang. ”Pemkab Dharmasraya telah mengerahkan segenap fasilitas, seperti perahu karet, tenda mengungsian, dan juga regu penolong. Mudah-mudahan tidak kekurangan suatu apa pun,” kata Amrizal.
Kalau melihat periodenya, banjir besar semestinya tahun depan. Namun, ternyata datang tahun ini.
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Batanghari, Jumat (29/11/2019) lalu, sudah memperingatkan tingkat bahaya erosi pada kawasan hulu DAS Batanghari, termasuk Dharmasraya, dalam kondisi sangat berat. Keparahan itu memicu potensi besar banjir bandang dan longsor pada musim hujan ini.
Tingkat bahaya erosi (TBE) pada sembilan kabupaten di hulu Sungai Batanghari terparah pada dua tahun terakhir. TBE berada pada level sangat berat, yakni di atas 480 ton sedimen per hektar per tahun. Kondisi itu terjadi di Kabupaten Solok Selatan, Darmasraya, dan Sijunjung (Sumbar), serta Kerinci, Sungai Penuh, Bungo, Merangin, Sarolangun, dan Tebo (Jambi).
”Kondisinya sudah sangat parah di hulu,” ujar Kepala Seksi Evaluasi BPDASHL-Batanghari Yitno Yuwono di Jambi (Kompas, 1/12/2019).
Tambang
Keparahan erosi di wilayah hulu, lanjut Yitno, disebabkan masifnya pembukaan hutan, baik untuk tambang dan galian, pembalakan, maupun pembukaan monokultur. Terkait aktivitas tambang emas liar di hulu, pihaknya bahkan sudah sejak 2014 menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah agar aktivitas itu segera ditanggulangi agar tak semakin memicu tingginya erosi ke sungai.
Berdasarkan penelusuran Kompas dan Tim BNPB, kawasan hulu Sungai Batanghari dalam kawasan Hutan Lindung Batanghari di Solok Selatan rusak oleh aktivitas tambang emas ilegal. Daratan di pinggir sungai digerus menggunakan ekskavator dan meninggalkan lubang-lubang dalam. Aktivitas itu turut memperkeruh sungai sehingga memicu sedimentasi di hilir dan mengubah topografi dan bentuk sungai.
Selama kemarau lalu, pihak Yitno mendapati beberapa kali terjadi banjir di hulu. Padahal, saat itu debit air rata-rata tergolong rendah, yakni 48 ton per hektar per tahun. Hal itu menandakan daya dukung lingkungan kian melemah. ”Kalau kemarau saja terjadi banjir, bisa dibayangkan seperti apa ancamannya pada musim hujan ini,” ujarnya.
Degradasi pada daerah tangkapan air menyebabkan debit air sungai di wilayah hilir ikut menurun. Pada 2016, debit maksimal air Batanghari di Kota Jambi bisa mencapai 3.697 meter kubik per detik dan debit minimal 67,5 meter kubik per detik. Namun, pada 2018, debit maksimal hanya mencapai 1.301 meter kubik per detik dan debit minimal 89 meter. ”Ini menandakan debit air sungai menurun lebih dari 50 persen,” ujarnya.