Bukan Sekadar Membangun Hunian Vertikal
Harga tanah yang terus melambung jadi momok untuk penyediaan rumah terjangkau bagi warga di Jakarta. Membangun lebih banyak hunian vertikal untuk efisiensi lahan tak terhindarkan. Namun, tentu tak sembarang vertikal.
Harga tanah yang terus melambung adalah momok untuk penyediaan rumah yang terjangkau bagi warga di Jakarta. Membangun lebih banyak hunian vertikal dengan mengefisienkan penggunaan lahan tak terhindarkan agar beban harga lahan yang mahal dapat dibagi-bagi di antara para penghuni.
Namun, pemerintah dan para pihak tidak bisa sekadar menuntaskan persoalan kesenjangan rumah (housing backlog) di Jakarta yang angkanya pada 2015 sebesar 1,25 juta unit dengan menyediakan hunian vertikal. Kesempatan kerja bagi penghuninya, terutama yang berpenghasilan menengah ke bawah, wajib dijamin. Salah satu caranya dengan mengupayakan hunian vertikal di pusat kota. Mungkinkah?
Syaiful (36) berdiri di pinggir Jalan Agung Perkasa 8, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pertengahan November silam. Ia memandangi dua ekskavator yang tengah mengangkati puing-puing material bangunan dari saluran air di sisi jalan itu. Bedeng bisnis sampah dan barang bekas miliknya adalah salah satu bangunan yang ikut menjadi puing dan dibersihkan alat berat.
Pria beranak empat itu bingung akan pergi ke mana setelah tempat usaha sekaligus tempat tinggal keluarganya tak berbentuk lagi karena digusur. Ia juga ragu dengan tawaran Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara untuk pindah ke Rumah Susun Sederhana Sewa Marunda di Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, sekitar 15 kilometer jauhnya.
Syaiful pribadi tidak masalah jika ia pindah ke sana asalkan Pemkot Jakarta Utara memikirkan penyediaan tempat usaha juga. Ia yang hanya lulusan sekolah menengah pertama itu tidak mampu bekerja selain menjadi pebisnis sampah dan barang bekas. Mendaftar kerja ke perusahaan, ijazah pendidikannya tidak memadai. ”Rusun, kan, tidak gratis. Dari mana kita bayar rusun kalau usaha tidak ada,” keluhnya.
Kompas edisi 11 Oktober 2017 pernah merekam kesulitan itu di Rusunawa Marunda. Salah seorang penghuni yang direlokasi dari area Kalijodo, Purwanti, membuka warung di unit huniannya. Tidak ada pembeli selain sesama penghuni yang sama-sama kesulitan ekonomi. Menjaring konsumen dari luar rusun hampir mustahil mengingat lokasi Marunda terisolasi dari pusat-pusat aktivitas Jakarta. ”Jualan di sini bukannya untung, malah buntung,” ujarnya.
Menjauhkan warga yang memiliki pekerjaan informal dari pusat kota yang strategis sama dengan membunuh perlahan-lahan meski pemerintah dan pemerintah daerah punya niat baik membuat seluruh warga tinggal di tempat layak huni lewat membangun rusun.
Baca juga: Dilema Warga yang Tinggal di Rusunawa
Menjauhkan warga yang memiliki pekerjaan informal dari pusat kota yang strategis sama dengan membunuh perlahan-lahan meski pemerintah dan pemerintah daerah punya niat baik membuat seluruh warga tinggal di tempat layak huni lewat membangun rusun.
Kondisi sekarang, ada sekitar 1.000 hektar kawasan tergolong kumuh yang tersebar di 118 kelurahan dari total 267 kelurahan di DKI atau mencakup 44 persen jumlah kelurahan. Selain itu, berdasarkan penghitungan Pemerintah Provinsi DKI, ada 14.000 rumah tangga dari total 2,7 rumah tangga penghuni Jakarta yang yang masih tinggal di tempat yang kurang layak.
Baca juga: Rusun Harapan Warga Tak Mampu Punya Rumah
Jalan keluar
Menurut lembaga nonprofit Jakarta Property Institute (JPI), terdapat jalan keluar. Jalan pertama, pemerintah menyediakan lahan di pusat kota dan pengembang swasta membangun rusun.
Selama ini, ada anggapan pengembang properti di Jakarta tidak peduli pada hunian bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan fokus menggarap hunian yang hanya bisa dibeli kalangan elite. Padahal, berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan atas Bidang Tanah untuk Pembangunan Fisik Kota di DKI Jakarta, pengembang properti wajib membiayai dan membangun rusun murah beserta fasilitasnya seluas 20 persen dari areal manfaat secara komersial.
Direktur Program JPI Mulya Amri menyatakan, swasta siap menjalankan kewajiban itu asal Pemerintah Provinsi DKI menyiapkan lahan. ”Kewajiban (pengembang) sebatas dalam bentuk konstruksi. Tanahnya adalah kewajiban pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah,” ujarnya.
Harga lahan yang terus menggila di Jakarta membuat penyediaan rusun murah di dalam kota hampir mustahil jika swasta juga dibebani pembelian lahan untuk menyediakan rusun murah. Contohnya, harga tanah di Kelurahan Karet yang berjarak 500-600 meter dari Jalan Sudirman atau Jalan Rasuna Said sudah Rp 50 juta per meter persegi. Di pinggir Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin, nilai jual obyek pajak (NJOP) diperkirakan Rp 100 juta per meter persegi.
Yang berjalan selama ini, lanjut Mulya, jika Pemprov DKI menyediakan lahan, lokasinya jauh dari kata strategis. Marunda, salah satu contohnya, serta contoh lain seperti Rusunawa Rorotan di Cilincing serta Rusunawa Rawa Bebek di Cakung, Jakarta Timur.
Mulya berpendapat, pemprov punya sejumlah aset lahan di lokasi strategis yang bisa untuk rusun murah meskipun saat ini sudah ada bangunan di sana. Terminal dan Pasar Senen di Jakarta Pusat, misalnya.
Mulya berpendapat, pemprov punya sejumlah aset lahan di lokasi strategis yang bisa untuk rusun murah meskipun saat ini sudah ada bangunan di sana. Terminal dan Pasar Senen di Jakarta Pusat, misalnya.
Dalam konsep Mulya, terminal dan pasar tetap ada, bukan ditiadakan, bedanya ada tambahan bangunan berupa rusun. Ini bisa menjadi simbiosis mutualisme. Para pedagang di pasar mendapat tambahan konsumen, sedangkan para penghuni rusun tidak perlu jauh-jauh pergi untuk mendapatkan barang kebutuhannya. Model hunian semacam itu sudah biasa terlihat di Singapura, misalnya rusun di atas pasar umum Hong Lim Complex.
Baca juga: Rusunawa, Pilihan Utama bagi 14.000 Rumah Tangga di Jakarta
Di Jakarta, model mixed use tersebut sudah dicontohkan oleh Rusunawa Pasar Rumput. ”Kami harapkan yang seperti ini segera menjamur,” kata Mulya.
Jalan kedua, meningkatkan kepadatan hunian pada lahan yang terbatas dengan cara menaikkan koefisien lantai bangunan (KLB) pada berbagai lokasi. Ini agar makin banyak hunian tinggi yang boleh dibangun. ”Orang bilang kita ketinggian, ada yang KLB 9, dan lain-lain. Mungkin untuk beberapa lokasi iya, tetapi jika dirata-rata, Jakarta belum padat sebenarnya,” kata Direktur Eksekutif JPI Wendy Haryanto.
Menurut Wendy, pembangunan di Jakarta dengan luas 660 kilometer persegi saat ini rata-rata ber-KLB 2, atau baru dua kali luas Jakarta. Adapun Singapura sudah membangun delapan kali dari luas wilayahnya, tetapi terbukti tetap bisa tertata.
Baca juga: Tawaran Hunian Terintegrasi Inkubator Bisnis Bagi Milenial
JPI menyimulasikan pada lahan di Karet, Jakarta Selatan. Rumah dengan harga Rp 350 juta per unit bisa diwujudkan hampir tanpa subsidi pemerintah (asumsinya biaya konstruksi Rp 8 juta per meter persegi) asal pemprov membolehkan pendirian bangunan rusun ber-KLB 14 di sana.
Dengan asumsi luas lahan 2.500 meter persegi, bangunannya mungkin setinggi 35 lantai dengan luas per unit 24 meter persegi. Syaratnya, tidak ada biaya perizinan bangunan—termasuk izin mendirikan bangunan—yang memberatkan serta pengembang tidak mengambil untung.
Mewujudkannya berarti membutuhkan kebijakan pemprov untuk merevisi rencana detail tata ruang. Namun, meningkatkan KLB tentu tidak boleh sembarangan karena bisa jadi malah menimbulkan masalah lingkungan yang berujung pada bencana, salah satunya penurunan muka tanah.
Pengambilan air tanah secara masif selama ini disebut-sebut sebagai faktor penyebab penurunan muka tanah di DKI. Namun, itu bukan satu-satunya faktor. Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi Kementerian ESDM Andiani mengatakan, faktor lainnya adalah beban akibat pendirian bangunan-bangunan, penurunan muka tanah secara alami karena pemadatan (kompaksi) material tanah, serta faktor tektonik.
Baca juga: DKI Revisi Mekanisme Penghitungan Denda
Biaya sosial
Di luar persoalan penyediaan fisik hunian vertikal, dosen Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Joko Adianto, mengingatkan, hal yang sering terlupakan dari pembangunan modern adalah biaya sosial. Contohnya, saat warga dari permukiman tak tertata pindah ke rusun, mereka mesti siap dengan budaya yang baru. ”Ada yang biasanya bisa langsung potong ayam, begitu tinggal di lantai 12, tidak boleh lagi,” kata dia mencontohkan.
Pengabaian-pengabaian terhadap biaya sosial bakal terakumulasi menjadi ketidakpercayaan sehingga menjadi preseden yang membuat warga permukiman belum tertata di area lain tidak mau dipindahkan juga, meskipun pemprov berniat baik membuat mereka tinggal di lingkungan sehat.
Baca juga: Untuk Mereka yang Berpenghasilan Rendah
Dari diskusi Joko dengan warga-warga di kampung Jakarta, tidak sedikit yang bersedia pindah ke hunian vertikal asal konsekuensi-konsekuensi yang menyertainya jelas, antara lain soal bagaimana pendapatan mereka selama tinggal di sana serta apakah unit rusun bisa diwariskan kepada anak dan cucu atau tidak.
Jadi, persoalannya bukan sekadar tentang mewujudkan hunian vertikal….