Denyut Romansa ”Little Netherland”, Kota Lama Semarang….
Pemerintah Kota Semarang bekerja sama dengan harian Kompas pada Minggu (15/12/2019) pukul 06.00 menggelar lomba lari Semarang 10K. Lomba lari tersebut akan menjelajahi beberapa sudut Kota Semarang.
Pemerintah Kota Semarang bekerja sama dengan harian Kompas pada Minggu (15/12/2019) pukul 06.00 menggelar lomba lari Semarang 10K. Lomba lari tersebut akan menjelajahi beberapa sudut Kota Semarang.
Dimulai dari Jalan Pemuda, melintasi Bundaran Tugu Muda, Jalan Pandanaran, Simpang Lima, kemudian berbelok ke utara melintasi Jalan MT Haryono. Pelari lalu akan menapaki Kota Lama Semarang kemudian kembali melintasi Jalan Pemuda.
Salah satu sudut ikonik Kota Semarang tentu saja adalah Kota Lama Semarang. Pengambilan racepack Semarang 10K bahkan dipusatkan di Oudetrap di Kota Lama, Semarang, yang dulu pernah menjadi toko dan kemudian dialihfungsikan sebagai gudang gambir.
Pemerintah Kota Semarang telah membeli gedung Oudetrap senilai Rp 8,7 miliar pada tahun 2015. Gedung tua itu difungsikan sebagai gedung pertemuan dan pusat informasi wisata Kota Semarang.
Beberapa bagian asli bangunan yang masih tersisa sejak tahun 1834 adalah tangga melingkar yang ada di bagian depan bangunan. Oudetrap kini menjadi salah satu penanda Kota Lama Semarang selain di antaranya Gedung Marba, Gereja Blenduk, dan Spiegel Bar & Bistro. Terkait dengan Kota Lama Semarang, wartawan Kompas, Aditya P Perdana dan Gregorius M Finesso, pernah menuliskannya pada harian Kompas edisi Sabtu (24/8/2019) berikut ini:
Enam tahun lalu, Kota Lama Semarang hanya kawasan kumuh, suram, dengan bangunan-bangunan tua tak terurus. Melibatkan semua elemen, ikhtiar penataan kawasan dilakukan bertahap. ”Little Netherland” kini kembali berdenyut menjadi magnet wisata.
Di bawah cahaya lampu taman, Kamis (22/8/2019) malam, sejumlah warga berkerumun di depan Gedung Marba. Mereka berdendang dan berjoget mengikuti alunan musik angklung yang dibawakan para seniman jalanan.
Sekitar 50 meter dari Gedung Marba yang pada era kolonial menjadi kantor usaha pelayaran sekaligus supermarket modern pertama di Semarang, sekelompok remaja berswafoto dengan latar Spiegel Bar & Resto. Beberapa sejoli duduk menikmati romantisisme Taman Srigunting, bekas lapangan parade serdadu Belanda di timur Gereja Blenduk.
Begitulah suasana malam di Kota Lama Semarang yang kian semarak. ”Dulu gelap, tak terurus. Sekarang sangat nyaman untuk bersantai,” kata Mulyono (36), warga Kendal.
Kota Lama dulu jadi langganan banjir akibat rob (limpasan air laut). Daerah yang dulu merupakan sarang judi dan tempat pelacuran itu, melalui program revitalisasi, disulap menjadi salah satu pusat keramaian di Semarang.
M Ikhsanuddin (26), warga Semarang Timur, mengatakan, bangunan-bangunan kuno yang dibangun sekitar abad ke-17 menjadi daya tarik. ”Bukan cuma asyik untuk jalan-jalan, tetapi juga bisa foto-foto dengan latar belakang gedung-gedung tua. Bagus untuk diunggah di Instagram,” ujarnya.
Malam itu, Ikhsanuddin menyusuri jalur pedestrian ruas protokol Kota Lama selebar 4 meter. Sisi jalur pedestrian dilengkapi besi pembatas supaya tidak digunakan pemotor.
Upaya revitalisasi Kota Lama melibatkan berbagai pihak: pemerintah, pemilik bangunan, dan pihak swasta. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menganggarkan Rp 175 miliar untuk membiayai perbaikan jalan, drainase, trotoar, dan kolam retensi. Tak ketinggalan, pembuatan bangku, tempat sampah, dan lampu penerangan jalan.
Penataan kawasan dibarengi pemanfaatan gedung-gedung tua. Pemkot Semarang melalui Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) gigih mendata pemilik gedung dan mendorong supaya gedung dikelola kembali. Ketua BPK2L Hevearita G Rahayu menyatakan, dari 116 bangunan di Kota Lama, 80 persen sudah direvitalisasi. Selain dikelola sendiri oleh pemilik bangunan, ada juga yang dikerjasamakan dengan investor.
Gedung-gedung tua difungsikan lagi sesuai gaya hidup modern. Mulai dari kafe, restoran, tempat wisata, hotel, dan galeri seni. Yang terbaru, kedai Filosofi Kopi. Saat peresmian Maret silam, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengapresiasi Budiono, pemilik bangunan yang menyulap bangunan yang sebelumnya sarang burung walet menjadi kedai kopi kontemporer.
Wahana lain yang dibuka dua tahun lalu adalah Old City 3D Trick Art Museum. Museum tiga dimensi ini menempati bangunan bekas gudang beras seluas 1.000 meter persegi yang dicat ulang. Di tempat ini, pengunjung dihibur koleksi gambar ilusi mata untuk berfoto grup atau swafoto.
General Manager Old City 3D Trick Art Museum Wista Sushaeni berharap kehadiran obyek wisata swafoto makin menghidupkan kawasan berjulukan ”Little Netherland” itu.
Pemerintah berencana, ke depan, hanya sepeda yang diizinkan menjadi alat transportasi di Kota Lama. Pembatasan kendaraan diharapkan membuat pengunjung semakin nyaman.
”Belajar dari Rusia, Kota Lama akan lebih cantik ketika bebas dari kendaraan bermotor dan polusi. Gedung-gedung hidup menjadi wadah kreativitas. Di wilayah itu kami siapkan tempat parkir,” kata Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Akulturasi kuliner
Napas tempo doeloe menjadi roh Kota Semarang. Apalagi, kawasan ini menjadi pusat perdagangan gula dunia pada awal abad ke-19. Berbagai budaya berbaur: Belanda, Tionghoa, Arab, dan pribumi.
Romansa lain dapat dijumpai di Toko Oen, sekitar 1 kilometer sebelah barat Kota Lama. Memasuki restoran ini seperti menyusuri lorong waktu. Lampu antik di dinding toko berpadu sorot lampu merah jingga menimbulkan efek temaram. Tempat makan ini menjadi tempat tujuan wajib pengunjung Semarang.
Salah satunya, Agus Djajaputra (85), yang kini tinggal di California, Amerika Serikat. ”Setiap tahun saya ke Semarang untuk berkumpul dengan teman-teman lama. Tempat kumpulnya di sini,” katanya.
Menurut Agus, hampir tak ada perubahan fisik dan rasa makanan antara Toko Oen tahun 1950-an dan saat ini. Di toko seluas 500 meter persegi, pengunjung mendapati mesin hitung zaman dulu, lemari jam kuno, serta set meja dari kayu. Para pelayan laki-laki mengenakan kemeja putih berompi seperti era kolonial.
Hampir tak ada perubahan fisik dan rasa makanan antara Toko Oen tahun 1950-an dan saat ini.
Restoran ini menawarkan hidangan klasik Eropa, China, ataupun lokal. Makanan, seperti poffertjes, bitterballen, dan bouillon soup, bersanding dengan gado-gado, tahu campur, dan nasi goreng.
”Ini resep oma yang terus dipertahankan. Menu di Toko Oen itu indische, campuran Indonesia, Belanda, dan China,” kata Megaputri Megaradjasa, yang biasa disapa Jenny, generasi ketiga pemilik Toko Oen.
Mengacu rencana induk tata kota, penataan Kota Lama akan terintegrasi dengan kawasan bersejarah di sekitarnya, termasuk Kampung Melayu, Pecinan, Kauman, dan Pasar Johar. Kawasan itu akan menjadi jalur warisan budaya guna mendukung pariwisata.