Proses pencalonan kepala daerah di sejumlah partai masih dikuasai oleh beberapa elite DPP partai terkait. Proses itu dinilai belum demokratis.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Proses pencalonan kepala daerah di partai-partai politik berlangsung sentralistis. Keputusan penetapan pasangan calon yang terletak di tangan segelintir pengurus pusat menggambarkan buruknya proses demokrasi di internal partai yang sarat kepentingan elite. Proses yang elitis itu memutus saluran aspirasi di partai dan berpotensi menjegal calon-calon berkualitas.
Peran elite dalam proses pencalonan kepala daerah itu misalnya tampak dalam kasus putra dan menantu Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution, di PDI-Perjuangan. Ketua Bidang Politik dan Keamanan PDI-P Puan Maharani di Jakarta, Jumat (13/12/2019) mengatakan, rekomendasi pencalonan untuk Gibran dan Bobby akan diputuskan Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum partai.
“Rekomendasi itu ada di ketua umum. Saya rasa pilihan Gibran dan Bobby untuk maju lewat PDI-P sudah melalui pertimbangan matang. Mereka berdua, jika nanti mendapat rekomendasi dari ketua umum, adalah salah satu kader yang akan kami dorong untuk maju di pilkada,” kata Puan.
Pencalonan Gibran, khususnya, menjadi polemik. Pasalnya, Dewan Pengurus Cabang PDI-P Solo saat ini sudah menutup pendaftaran bakal calon kepala daerah dan resmi mengusung pasangan Achmad Purnomo dan teguh Prakosa. Gibran pun akhirnya mendaftarkan diri lewat DPD PDI-P Jawa Tengah.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Arif Wibowo mengatakan, DPC Solo menyalahi peraturan internal partai dengan mengajukan satu pasangan calon. DPC dan DPD, ujarnya, harus mengajukan sekurang-kurangnya dua pasang calon kepala daerah ke DPP, tidak hanya satu. Itu karena proses keputusan terletak di tangan pengurus pusat melalui rapat pleno DPP, bukan pengurus daerah.
Arif berdalih, keputusan pencalonan harus diserahkan ke DPP karena PDI-P menganut sistem demokrasi terpimpin dengan pola pengambilan keputusan sentralistik. Salah satu pertimbangannya adalah elektabilitas. Belajar dari evaluasi pilkada sebelumnya, ujar Arif, banyak kepala daerah yang ternyata tidak berdampak secara elektoral pada partai. Selain itu, ada kepala daerah yang dianggap berjarak dengan rakyat. Oleh karena itu, ujarnya, pengambilan keputusan diambil di pengurus pusat dan rekrutmen dilakukan lebih dini.
Saat ditanya mengenai proses pencalonan yang tidak demokratis, Arif menjawab, “Demokrasi terpimpin di partai ideologis memang begitu. Kalau tidak setuju, cari partai lain, jangan (maju) dari PDI-P. Kadang ada perbedaan keinginan antara pengurus daerah dengan pusat. Tetapi, pada akhirnya harus ikut keputusan partai. Harus tegak lurus,” katanya.
Kondisi serupa juga ditemukan di Partai Demokrat. Keputusan akhir pencalonan bupati dan walikota ada di tangan DPP Partai Demokrat. Sementara, untuk tingkat provinsi, menjadi keputusan Majelis Tinggi Partai. Kedua lembaga itu dipegang langsung oleh Susilo Bambang Yudhoyono selaku ketua umum dan ketua majelis tinggi partai.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan menjelaskan, meski keputusan ada di pusat, proses pencalonan tetap berjenjang dan demokratis. “Dimulai dulu dari dewan pengurus cabang untuk tingkat kabupaten/kota dan dewan pengurus daerah untuk tingkat provinsi, baru diputus oleh DPP. Masing-masing ada domainnya,” kata Hinca.
Setali tiga uang, Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno mengatakan, meskipun keputusan akhir ada di tangan DPP, proses yang berlangsung sebenarnya tetap demokratis dan bersifat bottom-up. Penjaringan dilakukan tetap di tingkat dewan pengurus wilayah dan dewan pengurus daerah, kemudian diteruskan ke DPP.
“Prosesnya tetap bottom-up, kok. Kami menunggu dari DPD dan DPW untuk mengusulkan kepada kami, meskipun keputusan di DPP. Biasanya, kalau DPD dan DPW sudah putuskan beberapa nama, maka DPP tinggal memberi rekomendasi,” kata Eddy.
Egoisme pusat
Proses penjaringan calon kepala daerah yang elitis ini sudah terlihat sejak pilkada-pilkada sebelumnya. Pada Pilkada 2018, misalnya, nuansa kepentingan elite partai terasa sangat kental dalam campur tangan keputusan pasangan calon kepala daerah yang diusung. Saat itu, Djarot Saiful Hidayat diputuskan maju untuk Pemilihan Gubernur Sumatera Utara, berdasarkan keputusan Megawati.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, pencalonan kepala daerah yang elitis dan sentralistis menggambarkan buruknya proses demokrasi di internal partai. Pengambilan keputusan masih kuat didominasi oleh segelintir elite, terutama ketua umum. Akhirnya, saluran aspirasi dari akar rumput terpusat dan tergantung pada kepentingan dan kedekatan pada elite.
Ini bisa menghalangi munculnya calon-calon potensial yang tidak punya kedekatan dengan elite di pusat. Selain itu, berpotensi memunculkan pasangan calon yang tidak punya kedekatan dengan publik dan tidak memahami kebutuhan riil rakyat.
“Egoisme pusat terhadap aspirasi daerah lewat fenomena di partai ini menggambarkan juga kondisi makro di mana kepentingan daerah kerap tidak terkoneksi dengan di pusat. Orang daerah sulit mendapat pemimpin dari kalangan sendiri yang benar-benar paham kebutuhan dan kondisi sosial-kultural di daerah,” katanya.
Proses pencalonan yang elitis itu juga membuka celah korupsi kepala daerah. Direktur Ekesekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menilai, fenomena itu bisa berujung pada politik berbiaya tinggi di pilkada. Calon yang dipilih karena kedekatan dengan elite tetapi tidak memiliki jaringan kuat di daerah dengan mesin partai, terpaksa mengeluarkan uang lebih banyak untuk menggerakkan mesin partai.
“Calon tidak mengakar di partai karena dia bukan produk kaderisasi partai. Calon pun mengeluarkan biaya politik yang besar saat pilkada. Ini yang pada ujungnya bisa mengarah pada korupsi politik begitu menjabat,” kata Titi.