Kemenangan besar Partai Konservatif mempertegas hasil Referendum Brexit 2016. Ada lebih banyak rakyat Inggris ingin negara mereka meninggalkan Uni Eropa.
Oleh
·2 menit baca
Hasil pemilu Inggris yang diadakan Kamis (12/12/2019) mengantar Partai Konservatif meraih 364 dari 650 kursi parlemen, perolehan mayoritas terbaik mereka setelah era 1980-an. Sebelum pemilu yang diadakan PM Boris Johnson untuk memuluskan proses Brexit itu (Inggris keluar dari UE), Konservatif memiliki 298 kursi di parlemen.
Politik Inggris memang terbelah setelah digelar Referendum Brexit 2016 yang dimenangi pendukung Brexit. Negosiasi pelik antara Inggris dan UE digelar guna menyepakati model proses hengkangnya negara itu.
Pendahulu Johnson, PM Theresa May, merasakan pahitnya proses tersebut. Model yang sudah disetujui pemerintahannya dengan UE ditolak parlemen. Setelah May mundur, Johnson melanjutkan kerja ini. Proses politik di parlemen yang tak kunjung memberi kepastian bagaimana Brexit dilakukan membuat Johnson menggelar pemilu. Harapannya, Konservatif mendapat tambahan kursi sehingga kubu Johnson lebih leluasa menentukan proses politik di Parlemen.
Mengapa Konservatif menang besar? Jawabannya terletak pada beralihnya pemilih setia Buruh di sejumlah distrik yang selama berpuluh-puluh tahun dimenangi politisi partai tersebut. Pertanyaan yang lebih tepat ialah mengapa warga yang dulu memilih Partai Buruh beralih ke Konservatif?
Dikenal sebagai partai kaum kelas atas, Konservatif dengan isu Brexit yang diusungnya telah dilihat sebagai pembela kaum pekerja kerah biru atau, katakanlah, menengah bawah. Kelompok itu beberapa tahun terakhir merasakan ekonomi kian sulit. The Wall Street Journal melaporkan, di sebuah daerah yang dulu dikenal pro Partai Buruh, ekonomi lesu karena industri tak lagi berjaya di sana. Tidak sedikit warga pekerja merasa tak menikmati buah manis globalisasi. Tak mengherankan, pada Referendum Brexit 2016, di sejumlah daerah pro Buruh justru mayoritas warganya mendukung pemisahan karena UE dipandang sebagai simbol globalisasi.
Padahal, Brexit sesungguhnya dapat dilihat pula sebagai agenda kelompok konservatif, yang umumnya terdiri dari pengusaha, untuk memperluas cakupan perdagangan internasional (liberalisme) tanpa menunggu UE. Di dalam UE, Inggris tak bisa menjalin kerja sama perdagangan dan investasi lebih masif dengan pihak di luar, seperti Amerika Serikat.
Kelihaian Johnson mengemas isu Brexit sebagai sarana untuk lebih menyejahterakan rakyat Inggris, ketimbang membuka keran globalisasi lebih besar, menjadi faktor penting kemenangan Konservatif. Di saat yang sama, kepemimpinan Partai Buruh tengah berada di level tak menggembirakan.
Hasil pemilu Inggris menunjukkan ekonomi selalu menjadi faktor penting dalam politik. Kegagalan pemerataan di era globalisasi pun menciptakan sentimen kuat anti-globalisasi dan anti-asing yang kini bermunculan di banyak negara.