Pengurangan hukuman terhadap terpidana korupsi dalam putusan peninjauan kembali di MA terjadi lagi. Hal ini dikhawatirkan bisa menurunkan efek penggentaran pidana korupsi.
Oleh
Riana Afifah / Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Tren pemotongan hukuman bagi terpidana perkara korupsi oleh Mahkamah Agung selama beberapa bulan terakhir dikhawatirkan bisa menjadi sinyal negatif terhadap upaya pemberantasan korupsi. MA diharapkan tetap berkomitmen tinggi mencegah pelemahan efek penggentaran terhadap perilaku korup.
Di sisi lain, fenomena itu juga perlu disikapi Komisi Pemberantasan Korupsi dengan mengevaluasi penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi yang mereka lakukan. Sejak awal tahun 2019, MA sudah mengurangi hukuman sembilan terpidana korupsi melalui putusan peninjauan kembali (PK).
Seiring dengan adanya fenomena pengurangan hukuman tersebut, juga terjadi kenaikan permohonan PK. Data Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hingga awal November 2019, sudah ada 38 permohonan PK dari terpidana korupsi. Sebelumnya, saat hakim agung Artidjo Alkostar masih aktif, misalnya, pada tahun 2017 dan 2016, berkas PK kasus korupsi tercatat lebih kurang 17 berkas (Kompas, 13/6/2018). Artidjo yang dikenal kerap menjatuhkan hukuman berat kepada koruptor itu pensiun pada 22 Mei 2018.
Putusan PK
Terakhir kali, putusan pengurangan hukuman lewat PK diberikan kepada bekas Bupati Buton, Sulawesi Tenggara, Samsu Umar Abdul Samiun. Pada 12 Desember 2019, Samsu mendapat pengurangan hukuman pidana menjadi 3 tahun penjara dari MA. Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada September 2017 memvonis dia dengan pidana penjara selama 3 tahun 9 bulan dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia dinyatakan bersalah karena terbukti menyuap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar Rp 1 miliar terkait gugatan sengketa pilkada.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dihubungi di Jakarta, Jumat (13/12/2019), menuturkan, putusan PK terhadap Samsu diambil oleh majelis hakim yang diketuai Suhadi dengan anggota Eddy Army dan Mohammad Askin. Putusan ini diambil melalui pintu alasan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Ayat (2) Huruf c KUHAP.
”Alasannya antara lain pemohon PK melakukan perbuatan yang dinilai melawan hukum karena ada pengaruh dari orang lain yang memperdaya dirinya mentransfer uang. Sekitar dua tahun kemudian, yang bersangkutan baru tahu kalau itu rekening Akil Mochtar.
Atas alasan itu, maka permohonan PK pemohon beralasan untuk dikabulkan,” ujar Andi. Andi menolak jika MA dianggap tidak berkomitmen terhadap upaya pemberantasan korupsi. Menurut dia, putusan yang berujung pengurangan hukuman ini tetap didasarkan pada bukti dan alasan pengaju.
Terkait tren pengurangan hukuman terpidana korupsi ini, mantan hakim agung Artidjo menilai putusan PK MA tergantung pada perspektif dan penerapan pasal yang dilakukan hakim saat menangani perkara. Perbedaan penerapan pasal bisa membuat hukuman yang dijatuhkan berbeda antara pengadilan tingkat pertama, banding, hingga kasasi, bahkan PK.
Tiap kasus juga punya bobot dan karakteristik yang tak seragam sehingga memengaruhi pertimbangan hakim yang berujung memberatkan, menguatkan, sampai meringankan. Begitu pula saat dirinya memutus perkara. Penjatuhan hukuman yang kerap kali memberatkan dari Artidjo tetap berlandaskan penerapan pasal dan kaidah hukum.
Sinyal negatif
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, KPK menghormati putusan yang dijatuhkan MA. Namun, KPK juga berharap visi, misi, dan persepsi tiap lembaga, termasuk MA yang merupakan garda terakhir proses hukum, tak berbeda dalam upaya pemberantasan korupsi. Sebab, pemberantasan korupsi perlu dilakukan bersama dan simultan.
Pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, berpendapat, formula melawan korupsi akan efektif jika dijalankan semua lembaga. Misalnya, MA punya pandangan serupa, Presiden juga tak memberikan grasi bagi terpidana korupsi, serta DPR juga tidak melemahkan pemberantasan korupsi lewat undang-undang. ”Jangan sampai korupsi justru jadi a new normal. Ah, enggak apa korupsi, toh, nanti dikurangi hukumannya. Nanti orang tidak akan takut lagi melakukan korupsi,” kata Bivitri.
Unsur pimpinan terpilih KPK 2019-2023, Lili Pintauli Siregar, menuturkan, KPK tidak dapat mengevaluasi putusan MA. Namun, setelah dilantik, ia akan mengevaluasi kinerja internal KPK, khususnya saat dimulainya pengusutan suatu kasus. Sebab, dalam proses hukum, vonis atas kasus yang ditangani KPK kerap di bawah tuntutan jaksa, bahkan MA beberapa kali mengurangi hukuman terpidana korupsi.